![]() |
Dokumen Dompet Duafa |
JAKARTA -- Sebuah studi menarik dilakukan oleh Hossein Askari, seorang
guru besar politik dan bisnis internasional di Universitas George Washington,
Amerika Serikat. Askari melakukan studi untuk mengetahui di negara manakah di
dunia ini nilai-nilai Islam yang universal (bukan aspek akidah, ibadah, dan
syariah-hudud) paling banyak diaplikasikan.
Salah satu indikator yang digunakan adalah kebersihan, ketertiban, dan
kerapian. Selain aspek penegakan hukum, indeks korupsi, pemerataan ekonomi,
pemimpin yang adil. Hasil penelitian Askari yang meliputi 208 negara itu
ternyata sangat mengejutkan karena tak satu pun negara Islam menduduki
peringkat 25 besar.
Dari studi itu, Askari mendapatkan Irlandia, Denmark, Luksemburg, dan
Selandia Baru sebagai negara lima besar yang “paling Islami” di dunia.
Negara-negara lain yang menurut Askari juga menerapkan ajalan Islam paling
nyata adalah Swedia, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia.
Lalu, bagaimana dengan negara-negara Islam? Malaysia hanya menempati
peringkat ke-33. Sementara itu, negara Islam lain di posisi 50 besar adalah
Kuwait di peringkat ke-48, sedangkan Arab Saudi di posisi ke-91 dan Qatar
ke-111. Di manakah urutan Indonesia?
Saya pikir kita tak perlu kebakaran jenggot membaca hasil studi Askari.
Terlepas barangkali metode riset yang masih bisa diperdebatkan, marilah kita
introspeksi diri dalam konteks tugas dakwah kita sebagai muslim. Terlebih kita
yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
Saya ingin memulai diskusi kita dengan mengkaji surat Ali ‘Imran ayat
104, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
‘khair’, menyuruh berbuat ‘makruf’ dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung.”
Mari kita cermati ayat di atas! Apa perbedaan makna antara ‘khair’ dan
‘makruf’? Dalam Alquran terjemah kedua kata ini diterjemahkan dengan
‘kebajikan’. Secara etimologi keduanya memang bisa diterjemahkan dengan kata
kebajikan.
Namun, dalam kaidah Bahasa Arab, “Kullu ma zadal mabna, zadal ma’na”
(Setiap bertambah susunan huruf, maka bisa membedakan makna). Apalagi kedua
kata ini (khair dan makruf), bukan hanya berbeda satu huruf, namun jelas
berbeda susunan semua hurufnya. Jelas sekali memiliki makna yang berbeda.
‘Khair’ adalah kebajikan yang baru bisa dipahami oleh manusia bila
menggunakan kaca mata Islam. Misalnya, shalat dan puasa. Orang diluar Islam
bertanya-tanya dan tidak paham, ngapain muslimin capek-capek shalat lima kali
sehari semalam dan menahan lapar dan haus puasa selama sebulan? Mereka nggak
ngerti dan paham karena tidak menggunakan sudut pandang Islam.
Sedangkan, ‘makruf’ adalah kebajikan yang bisa dipahami oleh semua
orang tanpa harus menggunakan sudut pandang Islam. Misalnya, disiplin, jujur,
tertib, bersih, amanah, adil, santun, pemurah. Orang-orang diluar Islam, apapun
agamanya, ngerti dan paham bahwa sifat-sifat di atas adalah kebajikan. Inilah
yang kemudian populer disebut sebagai nilai-nilai Islam yang universal. Inipula
yang kerap dijadikan indikator penelitian untuk meneliti negara atau kota
paling Islami di dunia.
Itulah mengapa redaksi Alqur’an pada surat Ali ‘Imran ayat 104 di atas
menggunakan kata “yad’una” (mengajak) untuk khair dan “ya’muruna” (memerintahkan)
untuk makruf. Karena, makruf itu kebajikan universal, maka pesan Alquran
perintahkan manusia melakukan makruf. Siapapun orangnya dan agamanya mesti
mengakui dan memahami makruf itu kebajikan.
Sedangkan, kepada “khair” pesan Alquran ajaklah manusia menuju “khair”.
Karena, khair adalah kebajikan yang baru bisa dipahami dengan sudut pandang
Islam. Maka, ajaklah dan serulah manusia, bukan perintahkan.
Apa pelajarannya? Dengan penggunaan redaksi yang berbeda dalam ayat di
atas, Alqur’an ingin berpesan kepada kita (muslimin), “Jadilah kalian yang
terdepan dan terbaik dalam hal-hal makruf agar kalian bisa mengajak manusia
(diluar Islam) menuju kepada khair (tertarik kepada Islam dan akhirnya memeluk
Islam).”
Bila kita berantakan dalam hal-hal makruf (disiplin, jujur, amanah,
tertib, bersih, santun, adil, pemurah, dll), bagaimana bisa kita mengajak
orang-orang diluar Islam menuju khair? Bagaimana bisa mereka akan tertarik
kepada Islam jika melihat contoh perilaku tidak Islami dari umat muslim
sendiri.
Surat Ali ‘Imran ayat 104 ini adalah ayat perintah dakwah. Demikianlah
strategi dan metode dakwah yang diajarkan Alqur’an dan telah diteladankan
dengan sempurna oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan
generasi sahabat. Saksamailah Sirah Nabawiyah,
berapa banyak orang-orang kafir Quraisy tertarik memeluk Islam karena
keindahan dan keluhuran akhlak dan pribadi Rasulullah Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam.
Sudahkah kita menjadi teladan dalam hal-hal makruf agar tersyiar indah
ajaran Islam ini kepada orang-orang diluar Islam? Sehingga, dengan keteladanan
dalam hal-hal makruf, ajakan kita kepada mereka menuju khair menjadi powerful.
Dan, pada akhirnya, mereka tertarik kepada Islam dan semoga memeluk Islam.
Wallahu A’lam.
Sumber: ROL