Oleh: Sarah Hajar Mahmudah
Saya memang belum membaca novel AAC2 dan langsung menonton filmnya di hari pertama tayang. Maklum saja, rasa kangen sekaligus penasaran pada kehidupan Fahri. (padahal karena dapet tiket gratis) hehe. Tapi mudah-mudahan tulisan ini tidak membuat kalian yang belum nonton mengembalikan tiket nontonnya ya, atau tidak jadi ngajak pacarnya ke bioskop. Buat yang udah nonton, ini hanyalah sebuah ekspresi kekecewaan semata. Ah Fahri, kamu jahat!
Entah kenapa setelah AADC2, AAC2 menambah daftar film sekuel yang terkesan maksa dan nanggung tapi laris karena ketenaran film sebelumnya. Cerita AAC2 sebenarnya tidak begitu jauh dari yang pertama, bercerita tentang sosok seorang Fahri yang "too perfect" dan dikejar banyak perempuan, di samping juga menyinggung persoalan sosial keagamaan yang sedang ramai dibicarakan. Fahri ini sangat sempurna karena selain ganteng, dia juga ahli ibadah (terbukti sampai di kelas aja salat), cerdas, baik hati, suka menolong (bahkan tidak jarang terlalu ikut campur dan kebanyakan duit), perhatian (terlihat dari seringnya Fahri mengamati Keira setiap malam, ah ini menurutku malah agak genit!), dan menjunjung tinggi derajat perempuan.
Ah, tapi untuk yang terakhir Fahri mempunyai double standard perihal perempuan. Di satu sisi film ini ingin menunjukan derajat perempuan yang tinggi dan mulia, tapi di sisi lain justru memperlihatkan sebaliknya.
Pertama, perempuan digambarkan sebagai seorang penggoda, lihat saja mahasiswi yang mengidolakan Fahri (kalau saya sih mikir2 sebaik apapun dia [Fahri] ngapain godain dosen magister, beristri pula!). Kedua, perempuan masih dinilai berdasarkan fisiknya, karena Aisyah wajahnya rusak sepulang dari Palestina lalu Fahri tidak bisa mengenalinya? Sangat tidak masuk akal tidak mengenali seseorang, apalagi istri sendiri hanya karena wajahnya rusak, suara dan gerak-gerik pasti gak akan berubah kan? Aisyah sampai menghindar dari Fahri karena itu, lah bagaimana mungkin sosok sesaleh (sholeh) Fahri hanya menilai kecantikan dan kebahagian hanya dari tampilan fisik? Ketiga, seolah-olah semuanya selesai dengan dinikahi Fahri. Hulya yang semula ke Edinburgh untuk melanjutkan kuliah justru menikah dengan Fahri, alih-alih membahas kelanjutan studinya. Padahal Fahri sempat menolak menikahi Hulya karena alasan pendidikan. Sosok Hulya di sini juga lebih mencolok sebagai seorang yang mengejar cinta Fahri (yang notabene suami sepupunya sendiri, mentelnya eh!) dibanding mengejar magister degree. Kemudian Keira, setelah sukses berkarir musik karena bantuan Fahri (emang kaya banget Fahri ini ya, hehe) untuk menebus kesalahan dan hutang budinya pun meminta dinikahi Fahri walau harus jadi istri ke berapa pun. Huft.
AAC2 ini ceritanya juga terkesan nanggung dan maksa. Wacana islamophobia dalam kacamata akademisi yang diangkat dalam film ini kurang kuat dan terkesan nanggung, pada akhirnya kisah cinta dan poligaminya (lagi) yang mencolok. Saat Fajri ditantang debat di kampus pun terkesan bukan sebuah debat akademis, Fahri hanya berpidato membandingkan teori yg disampaikan oleh Huntington dan Nursi (padahal baca bukunya bejibun, gitu doang mah anak UIN Jakarta yang belom lulus S1 aja bisa, anjaayy), lalu disusul dengan serangan terhadap pribadi Fahri yang seorang muslim. Ehh masa akademisi gini? Di akhir cerita juga kehadiran Bahadur ke Inggris pasca keluar dari penjara sangat tidak realistis, dapat uang dari mana seorang mantan narapidana untuk perjalanan ke luar negeri untuk balas dendam? Lalu tidak lama dari itu Hulya meninggal dan lagi-lagi Aisyah yang kembali menjadi satu-satunya istri Fahri.
Jadi kesimpulannya, untuk perempuan yang ingin surga dengan poligami, coba carikan istri yang pendek umurnya. Agar tidak lama di duakan. (Lihat Maria dan Hulya).
*Penulis adalah aktifis perdamaian,
peneliti di Pusat Studi Timur Tengan dan Perdamaian Global (PSTPG)
FISIP UIN JAKARTA,
dan Indonesian Muslim Crisis Center - IMC2
peneliti di Pusat Studi Timur Tengan dan Perdamaian Global (PSTPG)
FISIP UIN JAKARTA,
dan Indonesian Muslim Crisis Center - IMC2