Oleh:
Muhammad Makhdum
Palestina
kembali bergejolak. Secara sepihak, Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu
kota Israel dan akan merelokasi kedutaan besarnya ke kota suci itu. Kebijakan
Trump menuai penolakan dan perlawanan. Dunia Islam dan masyarakat internasional
bereaksi keras. Beberapa pemimpin negara mengecam, termasuk juga warga Amerika
sendiri. Bagi umat Islam, hal ini merupakan bentuk penghinaan yang luar biasa,
mengingat posisi spesial Yerussalem dan keberadaan Masjid Al Aqsha yang secara
historis menjadi kiblat pertama sebelum Ka’bah di Makkah.
Sebelumnya
AS cenderung kucing-kucingan dengan Israel, maka manuver Trump semakin membuka
kedok bahwa telah terjadi persekongkolan jahat antara AS dan Israel.
Menariknya, Arab Saudi justru memberikan dukungan pada Trump. Kabarnya, sebagai
solusi perdamaian, Saudi menawarkan Abu Dis kota dekat Jerussalem Timur sebagai
ibu kota pengganti Palestina.
Ini bukan
kali pertama Trump melakukan tindakan gegabah dan merugikan umat Islam. Sesaat
setelah dilantik, ia mengumumkan larangan memasuki AS bagi imigran dari tujuh
negara mayoritas muslim, yakni Irak, Suriah, Iran, Sudan, Libya, Somalia dan
Yaman. Sebuah paradoks bagi negara yang selalu berkoar anti diskriminasi, cinta
damai, dan menjamin kebebasan hak asasi manusia.
Manuver
politik Trump tidak hanya melanggar HAM dan Resolusi Dewan Keamanan PBB, tetapi
juga menciptakan teror baru bagi rakyat Palestina. Sebagai sekutu AS, Israel seakan
mendapat pembenaran untuk mengintimidasi dan melakukan tindakan represif bagi
siapapun yang menentang kekuasaan Israel. Sangat dikhawatirkan ini dapat
menjadi legitimasi untuk melakukan penindasan kaum minoritas di belahan dunia
lain. Jika AS saja berlaku demikian, maka pihak lain sah-sah saja
menirunya.
Dalam
catatan sejarah, konflik Palestina-Israel sejatinya telah berlangsung sejak
jaman Al Kitab, kekaisaran Romawi, hingga perang salib. Di abad 20 ini, konflik
lebih banyak seputar nasionalisme, antisemit, perebutan wilayah, hingga isu
agama. Pemicu konflik tidak terlepas dari intervensi barat pasca perang dunia
II. Kala itu, Inggris yang tengah menjajah Palestina merestui berdirinya negara
Yahudi di tanah Palestina pada 2 November 1917. Restu ini sebagai bentuk
simpati terhadap pembantaian dan pengusiran kaum yahudi di Eropa oleh Nazi
Jerman.
Pasca
deklarasi negara Israel, muncul konflik antara bangsa Arab dengan Yahudi.
Dimulai dari perang enam hari Arab-Israel 1948, dilanjutkan dengan perang 1967
dan perang Yom Kippur 1973. Efeknya, wilayah Palestina sedikit demi sedikit
dicaplok oleh Israel. Represi Israel terus berlanjut dengan pembangunan tapal
batas dan blokade perbatasan, termasuk juga aksi-aksi provokatif melalui
Masjidil Aqsha.
Perlawanan
demi perlawanan tidak pernah membuahkan hasil, termasuk gerakan Intifadah
pertama (1987-1993) dan Intifadah kedua (2008-2015). Upaya diplomasi dari masa
Yasser Arafat hingga Mahmoud Abbas selalu membentur tembok terjal, demikian
pula diplomasi yang diupayakan oleh negara lain untuk Palestina. Di tengah
upaya diplomasi, tidak jarang terjadi insiden bersenjata di Jalur Gaza dan Tepi
Barat. Kekuatan yang tidak seimbang menyebabkan korban nyawa dari rakyat
Palestina terus berjatuhan.
Diplomasi
Indonesia untuk Palestina
Pemerintah
Indonesia secara konsisten membangun upaya diplomasi untuk kemerdekaan
Palestina sejak jaman Presiden Soekarno. Saat ini, presiden Jokowi melalui
Menlu Retno Marsudi bergerak cepat, berpacu dengan waktu. Kabarnya, menlu
menggandeng Yordania, Turki, dan Belgia untuk memperkuat diplomasinya dan
mendorong negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk serius
memikirkan nasib Palestina. Langkah taktis Jokowi ini patut diapresiasi,
mengingat kritikan tajam kepada Presiden selama ini yang kerap dianggap tidak
memihak kelompok Islam.
Dalam rangka
membantu pemerintah, PBNU secara organisasi terus aktif lahir batin bergerak
dan menyuarakan perdamaian dan kemerdekaan Palestina. Pada tahun 1938 KH
Mahfudz Siddiq, ketua PBNU menggalang aksi solidaritas dan penggalangan dana
besar-besaran untuk Palestina. Di tahun 1969, KH Muhammad Ilyas, mantan menteri
agama RI, dubes untuk Arab Saudi yang menggerakkan KTT Islam di Rabat, Maroko.
Kiai Ilyas dianggap sebagai penggerak utama kepedulian terhadap Palestina dan
menjadi singa podium di konferensi tersebut.
Di era Gus
Dur, aksi solidaritas digelar melalui aksi Malam Solidaritas Palestina (1982),
menghadiri penandatanganan perdamaian Yordania dan Israel (1994), dan kunjungan
resmi sebagai presiden maupun tidak resmi sebagai PBNU ke Timur Tengah dan
Palestina (2000) serta kunjungan dan pidato perdamaian di Jalur Gaza (2003).
Bagi Gus Dur, mewujudkan perdamaian di Palestina bisa dilakukan dengan cara
menjadi juru damai kedua belah pihak. Sebagai juru damai, win-win solution
harus diambil Gus Dur untuk mengambil hati dan meyakinkan Palestina dan
Israel.
Atas dasar
itulah Gus Dur bersedia menjadi anggota Shimon Peres Foundation meski menuai
banyak kecaman. Demikian juga rencana membuka jalur diplomasi Indonesia dengan
Israel saat menjabat presiden. Selama ini kita hanya “titip suara” melalui
markas PBB di Amerika, sementara Amerika adalah sekutu Israel. Jadi, suara kita
tidak akan pernah sampai. Bagaimana mungkin dapat membantu kemerdekaan
Palestina jika tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel? Hari ini kita
menyaksikan, satu per satu negara di dunia termasuk negara Islam juga membuka
kedutaan besar Israel di negaranya masing-masing. Salah satu agendanya adalah
membantu Palestina untuk memperoleh kemerdekaannya kembali melalui jalan
diplomasi.
Akhirnya,
kita semua berharap agar seluruh dunia bekerja keras untuk mewujudkan
perdamaian Palestina. Semoga krisis di Palestina segera berakhir. Wallahu
a’lam bishhawab.
Penulis
adalah anggota LTN PCNU Kabupaten Tuban, pernah belajar di Lembaga Tinggi
Pesantren Luhur Malang.