![]() |
(© shutterstock) |
Pembaca yang kami hormati, semoga kita senantiasa diberi rahmat dan taufiq oleh Allah SWT. Ahlussunah wal Jamaah dalam bidang fikih mengikuti salah satu empat madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. Dalam akidah pengikut Aswaja mengikuti Syekh Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi serta yang sejalan dengan keduanya. Dalam tasawuf mereka mengikuti Imam Al-Ghazali, Abul Hasan As-Syadzili, Junaid Al-Baghdadi, dan yang sejalan dengan mereka.
Ahlussunah wal Jamaah mengedepankan sikap tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), i’tidal (tegak lurus) dan tasammuh (toleran) dalam segala hal, termasuk dalam hal berdakwah atau berceramah. Tidak terlalu ekstrem kanan yang cenderung radikal, tidak pula ekstrem kiri yang cenderung liberal. Oleh karenanya, penceramah yang berhaluan Ahlussunah wal Jamaah adalah orang yang berpegang pada empat prinsip di atas.
Untuk lebih memperjelas, setidaknya ada beberapa contoh kriteria pendakwah Ahlussunah wal Jamaah sebagai berikut:
Pertama, tidak mudah memvonis kafir dan munafik.
Prinsip yang sejak dulu dipegang oleh ulama’ Aswaja adalah tidak mudah memvonis orang lain dengan tuduhan miring seperti kafir atau munafik. Al-Imam Al-Ghazali mengatakan:
وَالَّذِيْ
يَنْبَغِي أَنْ يَمِيْلَ الْمُحَصَّلُ إِلَيْهِ الْاِحْتِرَازُ مِنَ
التَّكْفِيْرِ مَا وَجَدَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. فَإِنَّ اسْتِبَاحَةَ
الدِّمَاءِ وَالْأَمْوَالِ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ إِلَى الْقِبْلَةِ
الْمُصَرِّحِيْنَ بِقَوْلِ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ
اللهِ خَطَأٌ، وَالْخَطَأُ فِي تَرْكِ أَلْفِ كَافِرٍ فِي الْحَيَاةِ
أَهْوَنُ مِنَ الْخَطَأِ فِي سَفْكِ مَحْجَمَةٍ مِنْ دَمِ مُسْلِمٍ.
Artinya,
“Yang seyogianya dibuat simpulan adalah, menjaga diri dari mengafirkan
orang lain sepanjang menemukan jalan (takwil) karena sungguh penghalalan
darah dan harta Muslim yang shalat menghadap kiblat, yang jelas-jelas
mengucapkan dua kalimat syahadat, merupakan kesalahan. Padahal
kekeliruan membiarkan hidup seribu orang kafir lebih ringan daripada
kekeliruan dalam membunuh satu nyawa Muslim,” (Lihat Abu Hamid
Al-Ghazali, Al-Iqtishad fil I’tiqad, halaman 81).
Syekh Ibnu Najim al-Hanafi mengatakan:
وَفِي
الْخُلَاصَةِ وَغَيْرِهَا إِذَا كَانَ فِي الْمَسْأَلَةِ وُجُوْهٌ
تُوْجِبُ التَّكْفِيْرَ وَوَجْهٌ وَاحِدٌ يَمْنَعُ التَّكْفِيْرَ فَعَلَى
الْمُفْتِيْ أَنْ يَمِيْلَ إِلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ يَمْنَعُ
التَّكْفِيْرَ تَحْسِيْنًا لِلظَّنِّ بِالْمُسْلِمِ.
Artinya,
“Dalam kitab al-Khulashah dan lainnya, apabila dalam satu persoalan,
terdapat banyak pertimbangan yang menetapkan kekufuran dan satu
pertimbangan yang mencegah kekufuran, maka wajib bagi mufti untuk
condong kepada pertimbangan yang mencegah kekufuran, untuk berperasangka
baik kepada sesama muslim”. (Syekh Ibnu Najim Al-Hanafi, Al-Bahrur Raiq, juz V, halaman 134).
Syekh Nawawi bin Umar Al-Bantani mengatakan:
وَلَا
تَقْطَعْ اَيْ لَا تَجْزِمْ بِشَهَادَتِكَ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ اَيِ
الْمُسْلِمِيْنَ بِشِرْكٍ اَوْ كُفْرٍ اَوْ نِفَاقٍ فَاِنَّ ذَلِكَ أَمْرٌ
صَعْبٌ جِدًّا فَإِنَّ الْمُطَّلِعَ عَلَى السَّرَائِرِ هُوَ اللهُ
تَعَالَى فَلَا تَدْخُلُ بَيْنَ الْعِبَادِ وَبَيْنَ اللهِ تَعَالَى. قَالَ
صلى الله عليه وسلم مَا شَهِدَ رَجُلٌ عَلَى رَجُلٍ بِالْكُفْرِ اِلَّا
بَاءَ بِهِ اَحَدُهُمَا اِنْ كَانَ كَافِرًا فَهُوَ كَمَا قَالَ وَاِنْ
لَمْ يَكُنْ كَافِراً فَقَدْ كَفَرَ بِتَكْفِيْرِهِ اِيَّاهُ
Artinya,
“Janganlah memastikan kesaksianmu atas orang Islam dengan syirik, kufur
atau munafik. Karena sesungguhnya hal tersebut perkara yang sangat
berat. Sesungguhnya yang dapat mengetahui beberapa isi hati adalah
Allah, maka engkau tidak bisa ikut campur urusan pribadi hamba dan
Tuhannya. Nabi Saw bersabda, tidaklah seseorang bersaksi kafir kepada
orang lain, kecuali vonis kafir tersebut kembali kepada salah satunya.
Jika yang dituduh betul kafir, maka benar seperti apa yang dituduhkan.
Jika yang dituduh tidak kafir, maka sungguh yang menuduh telah kafir
karena mengkafirkan pihak yang dituduh kafir,” (Syekh Nawawi Al-Bantani,
Maraqil Ubudiyyah, Surabaya, Al-Hidayah, halaman 69).
Kedua, tidak memberontak pemerintah.
Berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama, bahwa tindakan makar/pemberontakan terhadap pemerintah yang sah adalah haram meski pemerintah itu fasik atau zalim. Al-Imam An-Nawawi menegaskan:
وَأَمَّا الْخُرُوجُ عَلَيْهِمْ وَقِتَالُهُمْ فَحَرَامٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ كَانُوا فَسَقَةً ظَالِمِينَ
Artinya,
“Adapun keluar dari ketaatan terhadap penyelenggara negara dan
memeranginya maka hukumnya haram berdasarkan ijma’ ulama, meskipun
mereka fasik dan zalim,” (Lihat An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, Beirut, Daru Ihya’it Turats, 1392 H, juz XXII, halaman 229).
Sepanjang sejarah, ulama’ Aswaja tidak pernah ada kamus memberontak kepada pemerintahan yang sah. Saat pemerintahan dipegang rezim Muktzilah, sikap ulama Aswaja pada waktu itu tetap menghormati pemimpinnya. Ulama seperti Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan beberapa ulama besar Aswaja abad ke-3 hijriyah lainnya tidak pernah memfatwakan pemberontakan kepada Khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq dari kalangan Muktazilah Jahmiyyah yang memegang tampuk pemerintahan.
Dr Abdul Fattah Qudais Al-Yafi’i menegaskan:
وَلَمْ
نَسْمَعْ أَنَّ أَحَدًا مِنْهُمْ حَرَّمَ التَّعَامُلَ مَعَ أُوْلَئِكَ
الْقَوْمِ أَوْ مَنَعَ الْاِقْتِدَاءَ بِهِمْ أَوِ الْقِتَالَ تَحْتَ
رَايَتِهِمْ فَيَجِبُ أَنْ نَتَأَدَّبَ بِأَدَبِ السَّلَفِ مَعَ
الْمُخَالِفِ
Artinya, “Kami tidak mendengar salah
seorangpun dari mereka (ulama Aswaja) mengharamkan berinteraksi dengan
pemimpin-pemimpin yang bermadzhab Muktazilah itu atau mencegah umat
untuk mengikuti mereka atau mencegah berperang di bawah komando mereka.
Maka, wajib bagi kita beretika seperti etika ulama salaf dengan pemimpin
yang berbeda pandangan,” (Lihat Syekh Dr Abdul Fattah Qudais Al-Yafi’i ,
Al-Manhajiyyah Al-‘Ammah fil Aqidah, Shan’a, Maktabah al-Jaylu al-Jadid, Shan’a, cetakan pertama, 2007 M, halaman 32-33).
Andaikan ditemukan kekeliruan dari kebijakan pemerintah, maka hendaknya memberi nasihat dengan cara yang santun, bijak dan sesuai konstitusi. Tidak dengan caci maki, mengumbar aib di media sosial atau cara-cara yang inkonstitusional. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
كَانَتْ عِنْدَهُ نَصِيْحَةٌ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلَا يُكَلِّمْهُ بِهَا
عَلَانِيَّةً، وَلْيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَلْيَخْلُ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَهَا
وَإِلَّا قَدْ كَانَ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ وَالَّذِيْ لَهُ
Ketiga, menghargai perbedaan.
Dalam setiap perbedaan yang bersifat furu’iyyah, pendakwah Aswaja tidak mengklaim sesat atau fasik kepada pihak lain. Syekh Abdul Qahir Al-Baghdadi mengatakan tentang ciri khas Aswaja sebagai berikut:
وَاِنَّمَا
يَخْتَلِفُوْنَ فِي الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مِنْ فُرُوْعِ الْأَحْكَامِ
وَلَيْسَ بَيْنَهُمْ فِيَما اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنْهَا تَضْلِيْلٌ وَلَا
تَفْسِيْقٌ وَهُمُ الْفِرْقَةُ النَّاجِيَةُ
Artinya,
“Dan mereka hanya berbeda dalam halal dan haram dari beberapa cabangan
hukum. Tidak ditemukan dalam perbedaan di antara mereka vonis penyesatan
dan tuduhan fasiq. Mereka adalah kelompok yang selamat,” (Lihat Syekh
Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farqu Bainal Firaq, Beirut, Darul Afaq Al-Jadiddah, 1977 M, halaman 20).
Keempat, berdakwah dengan ramah.
Ulama Aswaja berdakwah dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Mereka berdakwah dengan cara bertahap. Sedikit demi sedikit menuntun masyarakat, tidak secara frontal mengharamkan di sana sini. Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith mengatakan:
وَقَالَ
سَيِّدُنَا الْإِمَامُ عَبْدُ اللهِ بْنِ حُسَيْنِ بْنِ طَاهِرٍ نَفَعَ
اللهُ بِهِ يَنْبَغِيْ لِمَنْ أَمَرَ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ نَهَى عَنْ
مُنْكَرٍ أَنْ يَكُوْنَ بِرِفْقٍ وَشَفَقَةٍ عَلَى الْخَلْقِ يَأْخُذُهُمْ
بِالتَّدْرِيْجِ. فَإِذَا رَآهُمْ تَارِكِيْنَ لِأَشْيَاءَ مِنَ
الْوَاجِبَاتِ فَلْيَأْمُرْهُمْ بِالْأَهَمِّ فَالْأَهَمِّ. فَإِذَا
فَعَلُوْا مَا أَمَرَهُمْ بِهِ انْتَقَلَ إِلَى غَيْرِهِ وَأَمَرَهُمْ
وَخَوَّفَهُمْ بِرِفْقٍ وَشَفَقَةٍ مَعَ عَدَمِ النَّظَرِ مِنْهُ
لِمَدْحِهِمْ وَذَمِّهِمْ وَعَطَاهُمْ وَمَنْعِهِمْ، وِإِلَّا وَقَعَتِ
الْمُدَاهَنَةُ. وَكَذاَ إِذاَ ارْتَكَبُوْا مَنْهِيَّاتٍ كَثِيْرَةً
وَلَمْ يَنْتَهُوْا بِنَهْيِهِ عَنْهَا كُلِّهَا، فَلْيُكَلِّمْهُمْ فِيْ
بَعْضِهَا حَتَّى يَنْتَهُوْا، ثُمَّ يَتَكَلَّمُ فِيْ بَعْضِهَا حَتَّى
يَنْتَهُوْا، ثُمَّ يَتَكَلَّمُ فِيْ غَيْرِهَا وَهَكَذَا
Artinya,
“Habib Abdullah bin Husain bin Tahir mengatakan bahwa sebaiknya orang
yang menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran melakukannya dengan halus
dan penuh kasih sayang kepada makhluk. Mereka menuntunnya dengan
bertahap. Apabila masyarakat meninggalkan banyak kewajiban, maka
prioritaskanlah mereka dengan kewajiban yang paling urgen. Jika mereka
sudah mampu menjalankan satu kewajiban, maka baru berpindah kepada
kewajiban yang lain dan memerintahkan serta memberinya peringatan dengan
lembut dan kasih sayang dengan tidak mempedulikan sanjungan, cacian dan
pemberian mereka. Bila tidak demikian, maka akan terjadi mudahanah
(penipuan/ mengambil muka). Demikian pula jika masyarakat melakukan
banyak kemunkaran dan tidak dapat meninggalkan keseluruhannya, maka
cegahlah sebagiannya sampai mereka mampu meninggalkan. Kemudian beralih
pada persoalan lain sehingga mereka meninggalkannya, dan demikian
seterusnya.” (Lihat Habib Zain bin Smith, Al-Manhajus Sawi, Jakarta, Darul Ulum Al-Islamiyyah, cetakan ketiga, 2008 M, halaman 311-312).
Demikianlah beberapa ciri dai berhaluan Aswaja. Dari keterangan di sini, dapat dipahami bahwa ceramah yang tidak sesuai dengan ciri-ciri di atas adalah bukanlah cara dakwah yang tidak berhaluan Aswaja. Semoga bermanfaat. Saran kami, berhati-hatilah dalam memilih penceramah agar tidak salah jalan. Kami terbuka untuk menerima saran dan kritik.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu alaikum wr. wb.
(M Mubasysyarum Bih/NUOL)