“Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga,” itulah kata seorang
penyair menggambarkan betapa pentingnya cinta dalam kehidupan. Allah
yang menciptakan rasa cinta di dalam diri manusia, dan Allah pula yang
menciptakan ketertarikan manusia pada lawan jenisnya. Oleh sebab itu
Allah memberi petunjuk kepada manusia bagaimana menjalin cinta dalam
ikatan yang benar dan suci, yaitu dengan ikatan suci pernikahan. Allah berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Pernikahan adalah sesuatu yang sangat penting dalam roda kehidupan
manusia. Dari pernikahanlah lahir generasi-generasi baru yang akan
melanjutkan keberlangsungan kehidupan di dunia ini. Saking pentingnya
pernikahan, baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَمَا وَاللهِ إِنِّي لأَخْشَاكُمْ للهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لكِنِّي
أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ؛
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Artinya: “Ingatlah, demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang
paling takut dan paling taqwa kepada Allah, akan tetapi aku berpuasa,
tidak berpuasa, aku sholat, aku tidur dan aku menikahi para wanita.
Barang siapa tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan termasuk dari
golonganku.” (HR Bukhari)
Perlu diingat bahwa sesungguhnya ada sesuatu yang tidak kalah
penting dengan pernikahan itu sendiri namun sering terlupakan, yaitu
niat yang baik saat menikah. Sebab, pada dasarnya hukum menikah adalah
mubah yang tidak ada pahala di dalamnya. Namun pernikahan akan menjadi
ibadah jika disertai niat yang baik semisal niat menjalankan sunnah,
memejamkan pandangan (dari perkara yang haram) dan niat-niat sesamanya.
Di dalam kitab al-Minhaj as-Sawi disampaikan:
ذكر الفقهاء رحمهم الله أنه يستحب أن ينوي المتزوج بالنكاح إقامة
السنة وغض البصر – إلى أن قال – ونحو ذلك من المقاصد الشرعية لأن النكاح
يكون عبادة بهذه المقاصد وأشباهها فيثاب عليه ثواب العبادات وإلا فهو من
المباحات التي لا ثواب فيها كأن يكون قصده مجرد اللهو والتمتع أو تحصيل مال
أو نحوه
“Para ulama fiqh rahimahullah berkata, ‘Sesungguhnya bagi orang
yang menikah hendaknya pernikahannya diniati menegakkan sunnah,
memejamkan pandangan dari perkara yang haram… dan sesamanya dari
tujuan-tujuan syareat. Karena sesungguhnya pernikahan akan menjadi
ibadah jika disertai niat-niat ini dan niat sesamanya, sehingga
pernikahan tersebut diberi pahala ibadah. Jika tidak, maka pernikahan
tersebut termasuk dari perkara-perkara mubah yang tidak berpahala
seperti pernikahan dengan tujuan sekedar main-main, mencari kesenangan,
mendapatkan harta atau sesamanya.” (al-Habib Zain bin Ibrahim bin
Sumith, al-Minhaj as-Sawi, Yaman, Dar al-‘Ilmi wa ad-Da’wah, cetakan
pertama, 2008, halaman 683-684)
Di dalam kitab al-Minhaj as-Sawi dikutib beberapa contoh-contoh
niat baik dalam menikah yang disampaikan oleh al-Imam al-Habib ‘idrus
bin Husain al-‘Idrus:
نَوَيْتُ بِهَذَا التَّزْوِيْجَ مَحَبَّةَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
وَالسَّعْيَ فِيْ تَحْصِيْلِ الْوَلَدِ لِبَقَاءِ جِنْسِ الْإِنْسَانِ –
“Dengan pernikahan ini aku niat cinta kepada Allah Azza wa jalla dan berusaha menghasilkan anak untuk keberlangsungan manusia”
نَوَيْتُ مَحَبَّةَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ تَكْثِيْرِ مَنْ بِهِ مُبَاهَاتُهُ –
“Aku niat mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wassallam di dalam memperbanyak orang yang akan dibanggakan oleh beliau”
نَوَيْتُ بِهِ التَّبَرُّكَ بِدُعَاءِ الْوَلَدِ الصَّالِحِ بَعْدِيْ –
“Aku niat menikah untuk mendapatkan berkah doa anak saleh setelah aku tiada”
نَوَيْتُ بِهِ التَّحَصُّنَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَكَسْرَ التَّوْقَانِ
وَدَفْعَ غَوَائِلِ الشَّرِّ وَغَضَّ الْبَصَرِ وَقِلَّةَ الْوَسْوَاسِ –
“Aku niat menikah agar terjaga dari syetan, memenuhi hasrat (yang
tidak terkendalikan), mencegah godaan-godaan kejelekan, memejamkan
pandangan dari perkara haram, meminimalisir godaan-godaan.”
نَوَيْتُ حِفْظَ الْفَرْجِ مِنَ الْفَوَاحِشِ –
“Aku niat menjaga farji (kemaluan) dari perbuatan-perbuatan hina (Zina).”
نَوَيْتُ بِهِ تَرْوِيْحَ النَّفْسِ وَإِيْنَاسَهَا بِالْمُجَالَسَةِ
وَالنَّظَرِ وَالْمُلَاعَبَةِ إِرَاحَةً لِلْقَلْبِ وَتَقْوِيَّةً لَهُ
عَلَى الْعِبَادَةِ
“Saya niat niat untuk membahagiakan dan menyenangkan hati dengan
duduk bersama istri, memandang dan bergurau dengannya agar menyenangkan
dan menguatkan hati untuk beribadah.”
نَوَيْتُ بِهَذَا التَّزْوِيْجِ مَا نَوَاهُ عِبَادُ اللهِ الصَّالِحُوْنَ وَالْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ –
“Dengan pernikahan ini aku niat seperti yang diniati oleh hamba-hamba Allah yang saleh dan para ulama yang mengamalkan ilmunya.”
(al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumith, al-Minhaj as-Sawi, Yaman,
Dar al-‘Ilmi wa ad-Da’wah, cetakan pertama, 2008, halaman 684 – 685)
Dan masih banyak lagi niat-niat baik di dalam pernikahan. Semoga
pernikahan yang kita lakukan adalah pernikahan suci yang bernilai
ibadah, amin ya rabbal ‘âlamîn.
Wallahu a’lam.
sumber : nuonline