ADA masanya orang Sunda berlomba-lomba menuliskan pengalaman dan pemikirannya seputar keberislamannya dalam bahasa ibunya: bahasa Sunda. Namun, upaya untuk melacak eksistensi serta masa-masa ”perlombaan” penerbitan media Islam berbahasa Sunda ini termasuk sulit dan pelik.
Akan tetapi, dengan menekuni buku-buku katalog dan media berbahasa Sunda, saya bisa mendapatkan banyak judul media berbahasa Sunda. Media yang pernah memperkaya khazanah literasi keislaman dan kesundaan tempo dulu.
Saya banyak mendapatkan bantuan dari kolega dan kolektor buku yang meminjamkan koleksi majalah fisiknya.
Di sini, bisa saya ulangi sumber-sumber yang saya baca. Pertama, dari buku katalog susunan G Ockeloen (Catalogus dari Boekoe-boekoe dan Madjalah-madjalah jang diterbitkan di Hindia Belanda dari tahoen 1870-1937), terbitan tahun 1966.
Kemudian ada katalog-katalog surat kabar yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional RI, yaitu Katalog Mikrofilm Surat Kabar Koleksi Perpustakaan Nasional RI Periode Tahun 1852-1957 (1997), Katalog Mikrofilm Surat Kabar Koleksi Perpusatakaan Nasional RI Periode Tahun 1856-1981 (1998), dan Katalog Mikrofilm Surat Kabar Koleksi Perpusatakaan Nasional RI Periode Tahun 1888-1998 (1999).
Sementara itu dari media Sunda, saya bisa mendapatkan datanya dari koran Sipatahoenan sejak di Tasikmalaya hingga pindah ke Bandung serta majalah At-Taqwa pada tahun 1950. Kemudian, saya punya kesempatan untuk membuka-buka koleksi media Sunda milik Kang Indra, Dede Tjimanoek, serta memanfaatkan fotokopi media Islam Sunda yang pernah dikerjakan oleh kawan saya.
Hasil dari pelacakan tersebut paling tidak saya bisa mendapatkan gambaran umum, meskipun masih dalam proses, mengenai keberadaan media-media yang saya maksudkan. Gambaran tersebut bisa saya bagi menjadi beberapa subgambaran yang meliputi rentang waktu penerbitan, judul-judul media, tempat terbit, dan lain-lain.
Mengenai rentang waktu penerbitan saya batasi terlebih dahulu dari tahun 1920-an hingga tahun 1950-an. Media yang diterbitkan pada tahun 1920-an adalah Bala Tentara Islam (1924-1925) dan Al Imtisal (sejak tahun 1927).
Periode tahun 1930-an merupakan periode yang paling banyak penerbitannya. Bisa disebutkan sebagai berikut: Tjahja Islam (1930-1934), Al-Hidajatoel-Islamijah (1931), Madjallah Atikan Ra'jat (1931), Al Moe'min (1932-1939), Al-Mawaidz (1933-1936), Al-Moechtar (1933-1940), Al-Idhar (1934), Panggoegah Islam (1934), Al-Bajan (1934), Mitra (1934-1939), Al-Itisom (1935), Taufieg (1936), At-Taqwa (1936-1937), Falsafah-Islamijjah (1936-1937), Al-Islah (1937), Al-Bisjarah (1937), dan Madjallah Madzhab Ahli Soennah (1937). Sementara itu, yang tak terlacak tahun terbitannya adalah Mifaaboes Sa'adah.
Memasuki periode 1940-an hingga tahun 1950-an, media Islam Sunda kian sedikit. Selain ujung dari penerbitan yang dimulai dari tahun 1930-an sebagaimana yang disebutkan di atas, pada tahun 1940-an hanya ada Batjaan Moerid (1940-1941). Sementara itu, pada 1949 hingga 1950, yang terbit adalah At-Taqwa, untuk masa kedua kali penerbitannya, setelah terhenti pada 1937. Kemudian, antara 1952-1954, media Islam Sunda yang terbit adalah Al-Muslih.
14 judul majalah
Secara ringkas, Rubaie Widjaya melalui tulisannya ”Publikasi djeung Pers Islam” dalam At-Taqwa edisi No 22, Oktober 1950, memerinci daftar majalah Islam Sunda yang pernah terbit terutama di wilayah Priangan. Katanya, ”Nu kaluar di Priangan: At-Taqwaa, Sinar Islam, Asj Sjura, Suwara Muslim, Gajatul-Bajan, Al-Maarif, Taufieq, Al-Imtisal, Al-Mawai’dz, Al-I’tisham, At-Tabib, Al-Mansjur, Al-Huda, Al-Ishlah”.
Alhasil, ada 14 judul majalah Islam Sunda yang diperinci oleh Rubaie. Dari jumlah tersebut, yang berbeda dengan hasil penelusuran saya ada delapan judul, yakni: Sinar Islam, Asj Sjura, Suwara Muslim, Gajatul-Bajan, Al-Maarif, At-Tabib, Al-Mansjur, Al-Huda. Dengan demikian, seluruh media Islam Sunda yang terlacak sejumlah 30 judul. Jumlah yang terbilang sangat banyak.
Sekarang mengenai wilayah tempat terbitnya bisa dikatakan mencakup dari wilayah timur Jawa Barat hingga ke bagian baratnya. Dari arah timur ke barat bisa disebutkan demikian: Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur, Bogor, Batavia, dan Sukabumi.
Dari tempat-tempat tersebut Tasikmalaya memainkan peran sangat signifikan. Karena dari sejumlah media Islam Sunda yang saya sebutkan di atas kebanyakannya terbit di Tasikmalaya, yaitu Al Imtisal, Al-Mawaidz, Al-Moechtar, Al-Idhar, Madjallah Madzhab Ahli Soennah, Al-Bisjarahdan Al-Itisom.
Kemudian disusul oleh Garut. Di sini, antara lain, terbit Tjahja Islam, Madjallah Atikan Ra'jat, dan Batjaan Moerid. Selanjutnya Bandung juga memainkan peran yang penting sebagai tempat pertumbuhan dan perkembangan penerbitan media Islam Sunda dengan terbitnya At-Taqwa, Mifaaboes Sa'adah, Panggoegah Islam, dan Al-Muslih. Demikian pula Sukabumi, di sini pernah terbit media Falsafah-Islamijjah, Mitra, Taufieq, dan Al-Bajan.
Pada gilirannya, penerbit media tersebut bisa dikatakan beraneka ragam, dari kalangan yang konservatif hingga progresif, dari yang tradisional hingga yang modern. Bisa saya sebutkan antara lain Sarikat Islam Cabang Garut, Perkoempoelan Goeroe Ngadji di Tasikmalaya, Nahdlatoel OelamaTasikmalaya, Comite Pangatik Islam, Goeroe Instituut Mohammadijah, Persatoean Islam Bandoeng, Persjarikatan Oelama Tjabang Bandoeng, Persatuan Alim Ulama Islam Indonesia Bandung, dan Kaum atau Masjid Agung Cianjur.
Zaman meleset
Tahun 1930-an memang anomali. Tahun-tahun pada periode tersebut dikenal sebagai zaman meleset (malaise), yakni masa-masa krisis keuangan yang berskala global, termasuk sangat mempengaruhi perekonomian Hindia Belanda. Itu di satu sisi, tetapi di sisi lain, sebagaimana yang telah saya tunjukkan pada masa tersebut justru penerbitan media Islam Sunda justru subur. Hal ini ini tentu saja menjadi pertanyaan besar untuk saya. Fenomena apakah yang melandasi menjamurnya penerbitan tersebut?
Untuk menjawabnya, menurut saya harus dilihat dari berbagai sisi. Pertama-tama, dari sisi perkembangan literasi. Dari sini, saya pikir periode 1930-an merupakan tahap kian tersebarnya orang-orang yang melek alfabet (aksara Walanda) ke seantero Tatar Sunda. Hal ini tentu saja sebagai buah dari pendidikan modern yang mulai ditanamkan Belanda pada akhir abad ke-19.
Anak-anak yang belajar aksara Latin tersebut tentu pada gilirannya akan menjadi pemuda bahkan menjadi orang tua pada awal abad ke-20. Yang bisa berarti itu merujuk kepada tahun 1930-an. Dapat dipahami bahwa implikasi dari kemelekan aksara tersebut adalah modernisasi. Dalam pengertian mampu mendorong orang untuk dapat berpikir kritis dalam menentukan keputusannya sendiri.
Sikap kritis ini pula yang menjadi faktor kedua latar belakang perkembangan media Islam Sunda yang pesat pada 1930-an itu. Sikap kritis ini pula yang pada gilirannya membawa semangat pembaruan atau ”modernisasi” terhadap keberislaman orang Sunda. Apalagi sebelumnya pembaruan tersebut juga datang dari luar sebagai dampak dari pemikiran-pemikiran Jamaludin Al-Afgani dan Muhammad Abduh. Yang lagi-lagi dibawa dalam bentuk media cetak berupa buku dan majalah. (Atep Kurnia, peminat literasi dan sejarah, tinggal di Bandung)***
Sumber: Pikiran Rakyat