Hujjatul Islam merupakan gelar yang disematkan kepada seorang ulama besar asal daerah Thus Khurasan. Penyematan ini sebagai bentuk penghargaan atas konstribusinya terhadap perkembangan keilmuan keislaman. Ia dikenal sebagai orang yang menyelamatkan umat dari kekeliruan berpikir yang disebabkan oleh pemikiran-pemikiran Yunani yang masuk ke dalam Islam.
Al-Ghazali Memiliki nama lengkap Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia dilahirkan di kota kecil yang terletak di dekat Thus, Khurasan. Abu Hamid lahir pada abad ke 5 Hijriyah, tepatnya pada tahun 450 Hijriah atau 1059 Masehi. Sebutan “Al-Ghazali” pada namanya dinisbahkan (disandarkan) kepada bapaknya yang merupakan seorang pemintal benang wol, nama Ghazzal yang berasal dari kata “ghazali” yang artinya “ialah tukang pintal benang”. dalam riwayat lain disebutkan bahwa asal kata Ghazzal ini diambil dari tempat ia dilahirkan yang bernama kampung Ghazalah.
Imam Al-Ghazali dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang sangat islami, ayahnya memiliki sikap kehati-hatian yang tinggi dalam perkara mengais rezeki, sehingga ia (ayah Imam Al-Ghazali) senantiasa menjalankan usaha benang wol. Abu Hamid hanya memakan apa yang ia makan dari hasil usaha benang wol. Ayahnya sangat memegang teguh komitmen kehalalan hartanya, sehingga ia dikenal dalam literatur Islam sebagai seorang ahli tasawuf yang salih.
Abu Hamid sering dikenal akan pemikirannya soal filsafat yang menghasilkan karya tahafut al-falasifah, namun di ujung kehidupannya, ia curahkan diri sebagai pengabdi terhadap Ilmu Tasawuf. Salah karya fenomenalnya adalah kitab Ihya Ulumuddin. Ia diakui luas sebagai seorang sufi yang mampu memadukan antara filsafat dengan Ilmu tasawuf secara seimbang.
Ketertarikan Imam al Ghazali mendalami ilmu tasawuf dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk mencari ilmu pengetahuan yang mutlak benarnya. Ilmu yang ia inginkan tersebut haruslah pasti dan tidak bisa salah. Pengembaraannya dimulai dari pendalamannya terhadap filsafat, namun hal ini ternyata tidak memberikan kepuasan bagi batinnya. Ia lantas menenggelamkan diri dalam pembelajaran ilmu tasawuf.
Meski ia seorang filsuf dan pelaku ajaran tasawuf, namun Al Ghazali juga memiliki ajaran soal cinta, yang ia sebut sebagai Mahabbah. Secara bahasa, mahabbah berarti “mencintai secara mendalam.” Menurutnya, mahabbah merupakan kecenderungan hati kepada yang dicintainya karena merasa senang berada di dekatnya. Lalu ditujukan kepada siapakah mahabbah tersebut? Dalam konsep pemahamannya cinta tersebut ditujukan kepada Allah Swt., Rasul-Nya., dan para wali-Nya. Mengenai paham mahabbah ini, sang imam merujuk kepada ayat Alquran Surah al-Baqarah ayat 165:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
Artinya: 165. “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
Dalam salah satu karyanya yang berjudul al-Mahabbah, Imam Al Ghazali menerangkan bahwa tingkatan mahabbah yang tertinggi ialah kecintaan terhadap Allah Swt., menurutnya tidak ada lagi tingkatan setelahnya kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Mahabbah Imam Al-Ghazali tidak hanya merujuk pada titik horizontal, namun juga vertikal, artinya, tidak hanya terfokus pada hubungannya dengan Allah Swt. semata namun juga pada hubungannya terhadap sesama manusia.
Abu Hamid membagi mahabbah atau cinta kepada empat tingkatan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Tingkatan yang terendah adalah cinta diri, maksudnya seseorang hanya mencinta dirinya sendiri, ia akan mengukur kebaikan hanya berdasar pada kepentingan dirinya, bila sesuatu tersebut tidak mendatangkan manfaat baginya, maka ia tidak akan mencintai hal tersebut.
Mencintai orang lain selama orang tersebut memberikan manfaat kepada dirinya, meskipun agak sedikit berbeda dengan cinta sebelumnya, namun tingkatan ini tetap mengedepankan kepentingan ego diri sendiri; seseorang tidak akan berhubungan dengan orang lain apabila orang tersebut tidak memberikan ataupun mendatangkan keberuntungan untuk dirinya. Menurut sang Imam, cinta ini sering berada di tengah-tengah dunia politik; yang ada bukanlah teman sejati, hanya ada kepentingan sejati.
Tingkat selanjutnya adalah mencintai orang lain meski tidak mendatangkan keuntungan, artinya seseorang tetap akan mencintai meskipun orang tersebut tidak mendapat imbalan dari cintanya tersebut.
Dan yang terakhir adalah cinta murni; seseorang mencinti kebaikan terlepas siapa pun yang memiliki kebaikan tersebut. Cinta ini adalah puncak dari cinta itu sendiri. Orang-orang yang memiliki jenis cinta ini adalah orang-orang yang dapat mencintai Allah Swt., mereka adalah auliya Allah yang senantiasa mengabdi dan hanya mencintai Allah semata.
Demikianlah ajaran mahabbah Al-Ghazali yang berkonstribusi terhadap umat. Mahabbah merupakan hal yang sangat penting dalam hidup di abad milenial ini, selain tuntutan cinta terhadap Rabb-nya, manusia juga dituntut untuk memiliki rasa cinta terhadap sesama.
Demikianlah keindahan cinta yang diwasiatkan Imam Al-Ghazali. Hal di atas menjadi pijakan bagi para pencari kesucian jiwa dalam menapaki bahtera keagungan makrifat.
Sumber: MengenalIslam.Com