Tuhan, Medsos, dan Hoaks

Tuhan, Medsos, dan Hoaks

Kamis, 26 April 2018, April 26, 2018

Oleh Aswab Mahasin

Kapan terakhir Anda butuh Tuhan? Dan pada saat apa Anda ingat Tuhan? Hidup ini memang penuh dengan ketidakpastian, karena hal yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian, maka dari situ muncul seni bersabar, berikhtiar, ikhlas, kreatif, manfaat, dan sebagainya.

Anda ingat? Dahulu kebanyakan filosof menganggap bahwa adanya Tuhan itu hoaks, seperti; Ludwig Feuerbach yang meyakini segala konsep tentang Tuhan, malaikat, surga dan neraka adalah hasil dari proyeksi manusia itu sendiri, karena itu manusia harus mengambil kembali ke-Maha-an ke dalam dirinya. Sedangkan Sigmund Freud, agama adalah sublimasi dari insting-insting seksual manusia agar dapat diterima masyarakat.

Lain halnya dengan Karl Marx, agama adalah candu, berbeda lagi dengan Nietzche, Tuhan telah mati, begitupun dengan Sartre bahwa konsep Tuhan hanya sebagai alibi ketidaksempurnaan dan ketidakmampuan manusia semata. Sungguh, mereka hanyalah manusia-manusia penyebar hoaks tentang Tuhan dan agama, karena mereka terjebak oleh pikirannya sendiri, tanpa menyadari agungnya peciptaan Tuhan. Dalam cerpennya Taufiq el-Hakim menggambarkan, “Jari yang biasa mengukur kedalaman air di gelas, tidak mungkin mampu mengukur kedalaman air di laut.”

Di era serba berkembang sekarang, gaya hidup instan, dan berbagai perilaku menyimpang serta didukung kebiasaan serampangan—posisi Tuhan menjadi ada yang tiada, diakui eksistensinya tapi dilecehkan esensinya. Dulu, para filosof menyebarkan hoaks dengan meniadakan Tuhan, dewasa ini manusia menyebarkan hoaks atan nama Tuhan.

Harus disadari, Tuhan telah memberikan bingkisan kepada manusia berupa agama sebagai jembatan manusia untuk menebarkan kebaikan. Namun, begitupun agama selalu berebut manusia agar menjadi pengikutnya, berbagai cara dan tanpa kompromi. Dari situ, tidak sedikit konflik terjadi atas nama agama, apalagi berita-berita hoaks di Medsos yang menjadikan agama sebagai “bemper”.

Medsos adalah jenis ciptaan baru dari Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk saling mengenal satu sama lain. Bisa juga dikatakan sebagai realisasi dari Firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-Hujarat [41]: 13, “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa...”

Nah, dari ayat tersebut jelas, diciptakannya Medsos oleh Allah sebagai fasilitas manusia agar lebih mudah saling mengenal satu sama lain, walaupun berbeda bangsa, suku, ras, dan agama. Indikasi lainnya, kesaling-mengenalan kita di Medsos harus juga dibungkus dengan keimanan dan ketakwaan, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai “hoaks-hoaks”, sama sekali tidak mencerminkan ketakwaan manusia kepada Allah SWT.

Anehnya, Medsos telah dibuat melenceng dari tujuan penciptaannya. Medsos lebih sering difungsikan sebagai media ujaran kebencian (hate speech) dan berita-berita yang membodohkan. Tapi, tidak semuanya, hanya oknum-oknum berkepentingan saja, mungkin punya agenda politik, mencari massa, mencari pengikut, atau mungkin mencari sensasi. 

Baru-baru ini kita dihebohkan oleh penangkapan kelompok “saracen”, dituding sebagai komplotan manusia penyebar hoaks—aktivitasnya; merubah konten berita, menebarkan fitnah, dan menyulut kebencian dengan menggunakan kata-kata yang tidak laik dikonsumsi publik. Tidak ketinggalan, agama dan Tuhan dijadikan dalih pertentangan ber-hoaks-ria.Sudah sebegitu parahkah hoaks di negeri ini? Mari kita renungkan bersama.

Melihat pernyataan Polri yang tersebar di berita-berita, kelompok hoaks sudah demikian berbahaya, karena hoaks sudah menjadi industri, di mana ada transaksi jual beli jasa. Harganya pun cukup fantastis, puluhan sampai ratusan juta—tergantung pesanan. Hebatnya, kelompok ini menternak sampai 800.000 akun demi menggiring opini publik. Dan siap menjatuhkan siapapun, tidak peduli walaupun sasarannya adalah agama dan Tuhannya sendiri.

Kelompok ini menurut informasi yang tersebar di berbagai lapak berita (di luar jual beli jasa), memiliki bos-bos besar, yang siap mengglontorkan money berapapun demi tepat sasaran. Bagi saya, fenomena ini aneh bin ajaib. 

Pelaku hoaks adalah orang-orang yang beragama dan berTuhan, sangat paham betul kalau fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, dan sangat paham betul tentang saudara yang bukan seiman adalah saudara dalam kemanusiaan. Namun, kepentingan kelompok, kepentingan pribadi, dan kepentingan ideologi menjadi dasar mereka menutup mata, padahal di luar sana kedaiaman lebih utama daripada perpecahan.

Selain itu, menurut berita yang berkembang, salah satu pilot hoaks adalah kelompok-kelompok yang menamakan diri sebagai radikal, kepentingannya ialah di satu sisi “mungkin” politik dan di sisi lain “mungkin” supayamasyarakat menyadari bahwa paham dominan keagamaan yang berkembang di Indonesia itu salah; maksudya, berbeda agama, berbeda aliran, berbeda madzhab, berbeda organisasi, berbeda segala rupanya, harus dikaburkan pemahamannya (hanya untuk mewujdukan pemahaman, “tiada kebenaran yang lebih benar selain mereka”), tujuannya adalah agar masyarakat terperangkap isu/fitnah dan berbalik arah memuji mereka. 

Yang membuat saya “mengelus dada”, kenapa harus agama dijadikan alat pertentangan dan Tuhan di bawa-bawa untuk melegitimasi (orang tidak sepaham) masuk neraka. Menjadi aneh di sini, surga dan neraka mutlak daerah kekuasan Tuhan, meminjm istilahnya Gus Mus, “dianggapnya Tuhan itu sama seperti mereka, ketika mereka marah, Tuhan pun akan marah, ketika mereka bilang kafir, Tuhan pun akan merestui kalau itu kafir.” 

Kita sepakat, dilihat dari aspek manapun hoaks adalah tindakan yang tidak beretika/tidak bermoral/tidak berakhlak, jelas melampaui batas kemanusiaan yang wajar. Setiap saya melihat dan berselancar di Medsos rasanya pesimis Indonesia akan berkembang maju, khususnya dalam hal toleransi. Namun, melihat fakta di lapangan, khususnya di desa-desa efek dari hoaks sebenarnya masih biasa-biasa saja, belum begitu mewabah. Memang ada pengaruh, tapi belum menjalar ke taraf yang sedimikian ruwet. Di sini optimisme saya muncul kembali.

Oleh karena itu, sebelum hoaks menjalar ke berbagai sudut gang, dan seluruh jalanan Indonesia, harus ada antisipasi dan solusi lebih dini. Pemerintah dan aparatnya sudah bekerja sangat baik, ini penting kita apresiasi. Hanya saja, aktivitas hoaks tidak terjadi pada kelompok pemuja duit semata, banyak juga yang melakukannya secara independen, entah apa kepentinganya, yang jelas mereka sering menyulut kebencian, sama sekali tidak etis di alam Indonesia ini.

Ini adalah tanggung jawab kita bersama, memang tidak mudah membendung hoaks karena ia berselancar di awang-awang. Namun, setidaknya kita memberikan pemahaman yang berimbang terhadap masyarakat, peran utamanya adalah para tokoh masyarakat, orang tua, ulama, dan guru. Saya mendukung Fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 tentang pedoman beraktifitas di Medsos, sekarang sedang diolah oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi.

Selain itu, untuk mengantisipasi hoaks tumbuh subur, di setiap sekolah dari tingkatan dasar sampai tinggi, harus ada sosialisasi tentang internet sehat untuk memberikan pemahaman tentang konten berita dan informasi yang bisa dipercaya dan tidak bisa dipercaya. Karena yang dibutuhkan Indonesia sekarang salah satunya adalah wacana yang berimbang, tidak menyudutkan apalagi penuh fitnah. Semoga Indonesia terhindar dari hoaks-hoaks jahanam. Amin.

Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.
Tulisan ini pernah dimuat di NU Online

TerPopuler