Orang boleh hanya mengenal Baghdad lewat
dongeng turun-temurun yang diceritakkan Syahrazad dalam “Alf Al-Lailah wa
Al-Lailah” (Dongeng seribu satu malam), atau lewat anekdot-anekdot Abu
Nawas bersama Khalifah Harun Al-Rasyid. Namun anda perlu tahu bahwa Baghdad
tampil lebih dari itu. Bukan hanya sekedar ibukota negara biasa, Baghdad
menjadi kota digdaya, kota megapolitan yang mampu menandingi sang “ibukota
dunia”, Konstantinopel pada masa jayanya.
Konon, Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur,
sang perintis kota Baghdad, mempekerjakan seratus ribu arsitek, pengrajin, dan
buruh di Suriah untuk membangun ambisi prestisiusnya untuk membangun Baghdad
selama empat tahun. Nama resmi Baghdad sebenarnya Madinah Al-Salam (kota
kedamaian), namun orang lebih mengenal kota itu dengan nama tempat sebelum kota
itu berdiri pada masa kekuasaan imperium Persia Sassanid, Baghdad.
Sebagai ibukota negeri islam yang luas,
Baghdad menjadi tempat asimilasi dari berbagai macam kondisi masyarakat yang
plural. Beragam etnis taklukan muslim, beragam agama, budaya, karakter, dan
beragam kasta masyarakat tumpah menyatu membentuk sebuah kota yang bhineka.
Lebih-lebih, Baghdad kian makmur karena dilalui sungai Tigris, yang seolah tak
akan surut jika hanya untuk menghidupi irigasi dan kebutuhan air bersih satu
juta orang.
Dibalik kehidupan yang berjalan alami,
Baghdad juga tumbuh menjadi pusat studi intelektual, seiring dibangunnya Baitul
Hikmah, universitas, dan sekolah-sekolah. Berduyun-duyun orang dari beragam penjuru
dunia islam menjejakkan kaki ke Baghdad untuk ikutan “ngaji” ke beragam pusat
pendidikan. Sebut saja universitasnya yang termasyhur, Madrasah Nizhâmiyyah
yang melahirkan cendekiawan muslim besar, Hujjatul Islam Al-Ghazali.
Baitul Hikmah,
Semacam Mesin Penerjemahkah?
Mudah sekali untuk menerjemahkan teks
berbahas asing di masa modern seperti ini. Hanya perlu buka search
engine, cari Google Translate, lalu masukkan teks, kemudian
tunggulah sekian detik. Maka teks yang semula tak terbaca secara ajaib akan
beralih bahasa.
Berbeda jika dulu, orang harus
berpayah-payah menerjemahkan kalimat satu persatu, bahkan sering harus
diterjemahkan sampai dua kali baru bisa dibaca. Dari bahasa Yunani, ke Bahasa
Suriah, baru ke Bahasa Arab, karena keterbatasan penerjemah yang ‘tak bisa
berbahasa Arab’. Itulah yang dilakukan para sarjana-sarjana dulu di Baitul
Hikmah.
Baitul
Hikmah adalah sebuah lembaga yang diprakarsai Khalifah Al-Ma’mun, putra kandung
Harun Al-Rasyid. Sebuah perpustakaan raksasa, akademi, plus biro penerjemahan.
Cikal bakal Baitul Hikmah sudah ada sejak masa Abu Ja’far Al-Mansur, namun baru
“memiliki nama” pada era kekuasaan Al-Ma’mun. Al-Ma’mun memang sosok pemimpin
yang mencintai ilmu pengetahuan “lebih dari apapun”.
Rasa
penasaran yang besar didukung kekuasaan penuh yang dia pegang, memberikan
kesempatan besar untuk membuka akses selebar-lebarnya masuknya ilmu pengetahuan
yang menjadi “hobinya” ke kota Baghdad. Kegandrungan Al-Ma’mun pada sains dan
filsafat mendorongnya semakin giat menerjemahkan buku-buku filsuf Yunani yang
ada. Pada suatu hari, dia pernah bermimpi “ditemui” sosok Aristoteles yang
tengah duduk ditempat tidurnya. Al-Makmun mengajukan pertanyaan sederhana,
“Apakah itu baik?” Konon katanya, Aristoteles meyakinkan Al-Makmun, jika akal sederajat
dengan wahyu.
Hal
inilah mungkin yang mendorong akhirnya Al-Makmun bisa mudah dipengaruhi
hakimnya sendiri, yang berpaham Muktazilah, Ibn Abi Duwad untuk mengembangkan
paham Muktazilah menjadi paham resmi negara. Dari kecenderungan Al-Ma’mun yang
menyukai ilmu pengetahuan teoritis, sains, dan Filsafat –yang semuanya kita
tahu diperankan total oleh akal—mudah kiranya membujuk paham semacam Muktazilah
yang rasionalis dan cenderung mengaggap akal adalah segala-galanya sebagai
doktrin yang meracuni sang khalifah.
Awalnya
Muktazilah yang bergerak “kecil-kecilan” dibelakang layar, akhirnya dia bisa
menjadi besar dan demikian berpengaruh, dianut oleh mayoritas. Lebih jauh lagi,
bahkan Al-Ma’mun membuat lembaga mihnah Alquran –salah satu
korbannya adalah Imam Abu Hanifah yang gigih membela paham Sunni (ortodoks),
lembaga ini bertujuan menguji seluruh pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh untuk
mengakui paham Muktazilah dengan perantara akidah kemakhlukan Alquran.
Sunguh
ironis, dibalik pamor Baghdad ketika itu yang menjunjung kebebasan
berfikir—bahkan sampai berani menerjang apa yang sebelumnya tak pernah
dilakukan salafus
sholih dengan mengkaji pemikiran tokoh-tokoh non muslim macam
Aristoteles, Plato, Hippokrates, Galen, dan Euklides—sampai bisa membuat observatorium
bahkan peta dunia, nyatanya dalam masalah akidah menjadi perangkat mematikan
yang membunuh kebebasan berpikir dengan memaksa seluruh rakyat harus berpaham
Muktazilah.
Pada
awal masa Dinasti Abbasiyyah, sudah berlangsung ekspansi besar-besaran buku-buku
Yunani ke bahasa Arab secara umum, dan ke Dunia Islam secara khusus. Banyak
buku-buku karya ilmuwan ‘luar negri’ yang dialihbahasakan. Baitul Hikmahlah
yang menjadi semacam jembatan, dan alat penerjemah. Berisi ilmuwan-ilmuwan
handal yang direkrut dari berbagai daerah dengan bayaran tinggi, Baitul Hikmah
menuai hasil prestisius.
Konon
hanya butuh seratus lima puluh tahun untuk menerjemahkan seluruh bahan yang
ada. Seluruh buku sains dan filsafat dari Yunani yang ada waktu itu sudah
berhasil diterjemahkan. Seluruh karya Aristoteles yang ada, baik yang asli atau
yang palsu, sepeti Categories (Maqûlât) Physics (Thabî’iyyât) dan
Magna Moralia (Khulqiyyât). Baitul Hikmah juga berhasil menerjemahkan
mahakarya Phtolomeus tentang astronomi yang berjudul Al-Magest (Al-Majisthi),
Republic (Siyâsah) karya Plato dan lain sebagainya.
Terjemahan-terjemahan
lain segera menyusul. Bagaimana tidak orang di barat sana tidak berterimakasih
kepada Baghdad yang juga menerjemahkan buku-buku yang teks aslinya sudah tidak
ditemukan lagi. Impor buku-buku asing ini segera menciptakan asimilasi
pemikiran dan budaya yang begitu berpengaruh dimasa itu dan dimasa mendatang.
Misalkan saja, gagasan Aristotelian terhadap ajaran agama tradisional yang
menduduki ratting tinggi dalam hegemoni pemikiran Arab-islam. Baitul Hikmah
akhirnya menjadi kancah pertarungan berkepanjangan antara sains, dan akhirnya
juga metafisika.
Bukan
hanya sains “biasa-biasa saja” yang ditelurkan, dimasa keemasannya, ilmu
astronomi juga menggebrak dunia Arab-Islam. Tentang penentuan arah kiblat yang
akurat, gerakan benda langit, bahkan tentang sudut ekliptik bumi dan berapa
luas matahari turut menjadi wacana. Masih dapat dinikmati, jasa Tabel Astronomi
(Zij) Al-Khawarizmi sampai sekarang.
Bidang
matematika juga berjaya, apa yang kita kenal kini dengan teori Al-Jabar,
dikenalkan oleh Al-Khawarizmi dalam kitabnya “Kitab Al-Jabr wa Al-Muqôbalah”
(The Book of Restoring and Balancing) solusi pecahan berpangkat
Al-Khawarizmi segera dikenal dibarat sana sebagai angin baru. Materinya masih
dipelajari di Eropa sampai abad ke enam belas. Bahkan mempengaruhi tokoh-tokoh
besar mereka seperti Leonardo Fibbonanci dan Master Jacob. Para pengkaji
Logaritma harusnya sangat berterimakasih pada Al-Khawarizmi.
Pada Akhirnya
Pada Akhirnya
Di balik
Baghdad yang menjadi bintang ilmu pengetahuan paling terang pada masanya, dan
pusat hiruk pikuk kajian ilmu yang butuh penalaran dan kerja otak ekstra,
Baghdad seolah “melupakan” sesuatu. Penempatan akal sebagai bahan restorasi
wawasan sepertinya telah melupakan bahwa tak semuanya bisa dipecahkan oleh
akal. Anggapan bahwa segala sesuatu haruslah logis telah menutup “dimensi” yang
lain (baca: Melupakan bahwa sebenarnya dalam hidup ini banyak yang tidak masuk
akal). Akhirnya paham Ortodoks-konservatif, Sunni dianggap “ketinggalan jaman”
oleh sebagian kalangan, karena doktrinnya yang tanpa
modalitas, bilâ kaifa.
Orang
jadi lebih suka mempertanyakan segala sesuatu. Tentang Alquran, segala sesuatu
yang tidak rasional akhirnya harus ditakwil. Hanya karena, -mungkin- terlalu
naif buat sebagian orang untuk mengakui sebenarnya bukannya
dalilnya yang terbatas, namun kemampuan akal yang terbatas untuk menjelaskan
dalil yang ada. Lama kelamaan karena kalah superioritas, “para pembela
kebenaran sejati” malah yang harus menyingkir. Maksudnya, diikuti dengan
perkembangan ilmu pengetahuan di Baghdad yang cenderung “menghidupkan pikiran”,
Islam dari dalam justru mengalami “kemunduran” dengan tidak diakuinya paham
ortodoks di tanah Baghdad. Justru yang berkembang adalah paham rasionalis
Muktazilah.
Ringkasnya
jika sudah asyik mengkaji, wawasan memang tak akan ada habisnya. Tapi jangan
lupa kalau diatas langit masih ada langit. Sambil ngaji Lubbul Ushûl,
“Uqûdul Jumân, Syarh Al-Mahally, Tafsir Ayatul Ahkam, dan kitab-kitab fan
tingkat lanjut lain yang bisa “menghidupkan pikiran”, jangan lupa sesekali
tetap mathla’ah Mau’idhotul Mukminîn atau Kifâyatul Atqiyâ’
agar “hati tetap hidup”. Jangan sampai tragedi seperti Muktazilah kembali
terulang. Kalau masih pemula? Al-insân ‘alâ nafsihî bashîroh…Masing-msing
lebih tahu mana prioritas mereka.{} SLr
KHOIRUL WAFA
Lahir di Wonosobo Jawa Tengah, 1995. Saat
ini sedang belajar di Pesantren Lirboyo, Jawa Tengah. Senang membaca sejarah.
Sedang belajar menulis.
Tulisan ini pertama kali dimuat di Alif.Id