Oleh: Maria Fauzi
Beberapa
waktu lalu ketika jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan ada satu hal yang
cukup menyita perhatian saya. Sepasang suami istri, muda, dan kebetulan mbaknya
memakai cadar, bermesraan layaknya dalam scene
romantis drama Korea. Mereka bergandengan tangan mesra, sesekali bercanda,
bisik-bisik dan saling berpelukan. Erat sekali. Seakan tak peduli akan
keberadaan puluhan orang lain yang sedang berpapasan, atau ketiban apes jalan
di belakang mereka.
Posisi saya
waktu itu, sayang sekali, ada di belakang pasangan muda ini bahkan dengan
tujuan yang sama naik ke tingkat tiga pakai eskalator. Bayangkan saja, durasi 2
menit serasa puluhan menit. Karena mau tidak mau, saya, mungkin juga beberapa
pengunjung lainnya, menyaksikan adegan romantis mereka berdua. Sesekali kami,
sesama pengguna eskalator, saling bertatapan mata seperti sama-sama mbatin, sambil berujar ‘duileee serasa yang lain ngontrak’.
Beberapa
orang lebih tertarik memalingkan wajah untuk melihat etalase berjejer dengan
segala produk sekedar untuk lepas dari pemandangan yang buat kikuk, geli, dan entahlah. Namun, saya justru
sebaliknya, penasaran dan tertarik untuk melihat mereka dari sudut pandang
lain.
Dahulu,
paling tidak beberapa tahun silam, image
perempuan bercadar kerap dihubungkan dengan sesuatu yang ‘konservatif’, tidak up to date, dan seakan tak bisa
bergerak bebas di dalam ruang publik. Cadar, bagi sebagian orang, tak hanya
dipahami sebagai bentuk kesalehan diri, namun kian kemari cadar bisa juga
dipahami sebagai salah satu cara berpakaian wanita muslimah. Dengan begitu,
ukuran kesalehan tak lagi bisa serta merta dihubungkan dengan penggunaan cadar.
Belakangan,
perempuan bercadar semakin mendapat ruang dalam masyarakat meskipun ada satu dua
kasus yang dianggap tidak kompromi dengan penggunaan cadar. Namun, secara garis
besar masyarakat kita cukup menerima hal tersebut. Dengan cadar mereka masih
bisa beraktifitas seperti biasa. Penuh leluasa.
Tak
ketinggalan dalam dunia fashion. Para fashion designer juga tak ingin
kehilangan momentum. Mereka menciptakan busana muslimah lengkap dengan cadarnya
guna menunjang aktivitas sehari hari, termasuk baju olah raga hingga gaun
pengantin bercadar.
Sampai hari
ini, saya tak lagi kaget atau merasa asing dengan perempuan bercadar. Ada
beberapa kawan saya yang juga memutuskan untuk bercadar, dan kami berteman
dengan baik. Tak hanya berada di tempat-tempat tertentu yang eksklusif, di
pusat-pusat perbelanjaan, warung, cafe, bioskop, atau rumah makan hits, saya biasa menjumpai
perempuan bercadar.
Seperti
halnya yang lain, saya memandang mereka seperti masyarakat pada umumnya. Tak
kurang dan tak lebih. Tidak ada sesuatu yang spesial, kecuali mbak yang ada di
hadapan saya ini, yang sedari tadi bersender mesra di bahu suami sambil
bergandengan tangan tanpa jeda. Sesekali diiringi tawa kecil, dan saling cubit.
***
Kembali lagi
ke persoalan ukhti-akhi yang kerap menunjukkan kemesraan di ruang publik. Lagi
lagi, saya harus stalking di dunia
Instagram untuk melihat berbagai perubahan prilaku keagamaan generasi muda yang
banyak dimunculkan oleh para selebgram, yang nyatanya juga kian diikuti oleh
beberapa kalangan, khususnya para milenial.
Gerakan
menikah muda, adalah salah satu kunci dibalik fenomena ini. Fenomena saling mengumbar
kemesraan ‘syar’i’, yang tujuannya tak lain agar para pemuda pemudi lainnya mupeng pengen nikah. Semudah itu.
Narasi yang kerap kali dipakai adalah pacaran halal dan menolak perzinaan.
Bagaimana caranya? Ya dengan menikah muda. Pokoknya kalo udah kebelet langsung
lamar, dan akad. Beres. Halal, dan syar’i. Modalnya cuma keberanian.
Konsep
pernikahan direduksi sedemikian rupa seolah isinya hanya melulu tentang
keintiman dan keromantisan. Permasalahan lain terkait rumah tangga, termasuk
kesiapan biologis, mental, dan ekonomi tak lagi diperhitungkan.
Dengan
jargon “Karena beribadah butuh keberanian”, cukup banyak akhi-akhi yang
kemudian hanya bermodalkan keberanian, langsung nekad melamar. Lagian lelaki
mana sih yang tidak merasa terusik kejantanan dan superioritasnya jika disindir
tidak punya nyali?
Faktanya,
gerakan ini cukup masif menyasar anak anak muda yang masih labil, dan di usia
yang produktif. Berbagai postingan foto romantis nan ‘syar’i’ menjadi konten
utama dalam laman sosial media gerakan nikah muda. Anggotanya bahkan sudah
mencapai ribuan, tentunya dilengkapi dengan fasilitas kartu anggota alias ID
Card.
Saya jadi
teringat kisah salah satu selebgram muda, yang juga seorang mahasiswa di
Universitas Al-Azhar Kairo,Taqy Malik. Sebagai salah satu pasangan yang
digadang-gadang menjadi panutan para pengikut gerakan ini, kisah pernikahannya
justru berakhir tak seindah foto-foto romantisnya dikala memutuskan menikah di
usia yang masih sangat muda. Ia bercerai hanya dalam waktu tiga bulan. Salah
satu alasan terkuat dan menjadi pemicu utamanya adalah ketidaksiapan mental,
labil, sehingga rentan terhadap masalah masalah kecil yang kemudian dianggap
besar.
Tentu saja,
ada banyak Taqy-Taqy yang lain. Menggebu gebu menikah muda, karena
diiming-iming potret kesalehan pasangan lain alih-alih menolak pacaran. Tak
se-ektrem itu sebetulnya. Selalu ada jalan tengah, pun sikap kehati-hatian
dalam menjalin setiap hubungan dan kisah asmara.
Berzina, dan
memilih untuk menikah muda tanpa kesiapan mental dan psikis, merupakan sikap
yang sama sama berlebihan. Sesuatu yang sebenarnya, siapapun itu, termasuk
manusia dewasa yang dikaruniai akal sehat serta mematuhi norma sosial keagamaan
dalam masyarakat, bisa menghindari. Tak lantas untuk menghindari zina, nikah
muda diklaim menjadi solusi satu satunya.
Memang
tingkat kedewasaan seseorang tak bisa serta merta dilihat dari umur, namun
mayoritas kasus pernikahan dini di usia muda yang kandas ditengah jalan hanya
membuat daftar korban, khususnya kaum perempuan, semakin bertambah. Stereotype
dalam masyarakat kita yang masih berat sebelah akan menempatkan perempuan
sebagai pihak yang paling dirugikan. Apalagi jika sudah memiliki keturunan,
ekonomi tidak stabil, dan sederet problematika lain yang cukup pelik dalam
berumah tangga.
Toh, jika
sudah saling berikrar janji atau ijab-qabul, pelopor berikut para aktivis
gerakan ini tak lagi punya domain dan turut bertanggung-jawab jika terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Karena pernikahan tak ada lagi hubungannya
dengan keterikatan pada suatu kelompok maupun jamaah tertentu. Pernikahan,
dengan segala tanggungjawab dan konsekuensinya adalah wewenang kedua pasangan.
Ia, akan memasuki wilayah baru yang privat dan individual. Tak lagi bisa
dilihat sebagai bentuk kesalehan kelompok, melainkan kesalehan individu baik
dari pihak suami maupun istri.
Jalan tengah
yang semestinya menjadi pijakan adalah dengan melalui proses sewajarnya,
tenang, dan matang. Terburu-buru tidak melulu berujung kebaikan. Sebagai
manusia dewasa yang bisa menjaga diri dan mengerti akan segala konsekuensi
perbuatannya, menjajaki perkenalan untuk niat yang baik sah-sah saja. Bukankah
lebih baik para generasi muda membekali dirinya terlebih dahulu dengan
mematangkan dalam hal beragama, juga niat, mental dan pendidikan, sebagai bekal
paling utama menciptakan keluarga yang sehat, sakinah dan rahmah?
Generasi
muda seharusnya punya pendirian. Berani untuk berkata tidak untuk zina, dan
juga berani berkata tidak untuk menikah muda hanya karena mupeng lihat romantisasi pasangan
yang diumbar dan dipamerkan dengan kemasan ‘syar’i’?
Sumber: Islami.co