Genealogi Konflik di suku Muslim Uyghur, Xinjiang, China

Genealogi Konflik di suku Muslim Uyghur, Xinjiang, China

Jumat, 21 Desember 2018, Desember 21, 2018


Banyak teman-teman semuslim di Indonesia yang bertanya hal serupa kepada saya tentang perihal tersebut. Saya harus membahasnya panjang karena hal ini menyangkut aspek historis yang sangat panjang, sensitifitas empiris masyarakat Indonesia terhadap bangsa China karena adanya ekspansi ekonomi politik-ekonomi di Indonesia yang dinilai sangat dominan sekarang ini, aspek sosial-budaya, serta karakter general maupun konstelasi historis geopolitik negara-negara besar di dunia. Setelah pembahasan yang akan saya sampaikan di bawah ini, secara logis akan muncul pertanyaan berikutnya, bagaimana sebaiknya sikap kita sebagai bangsa Indonesia dan sebagai saudara semuslim? Atau pertanyaan yang lebih dalam lagi adalah menanyakan bagaimana sikap saya secara pribadi yang sekarang tengah berada di negeri China? Insya Allah semuanya akan saya sampaikan secara gamblang agar jelas posisi masing-masing dalam kondisi kritis tersebut.

Berita tentang diskriminasi dan alineasi pemerintah China terhadap suku Uyghur tersebut adalah benar. Kondisi itu yang sekarang terjadi di China bagian utara di Provinsi Xinjiang (dekat perbatasan dengan Rusia). Saya ingin menguraikan terjadinya kondisi tersebut dalam beberapa pendeketan ilmiah agar semuanya jelas posisi masalahnya. Adapun menurut pandangan saya pribadi genealogi konfliknya adalah sebagai berikut ini:

  1. Secara historis, suku Uyghur merupakan bangsa asing yang tidak termasuk dalam suku bangsa rumpun China yang didominasi oleh suku Han, Rusia, maupun Turki. Hanya saja, secara genealogis lebih dekat kepada bangsa Turki jika dilihat dari penampakan fisik, budaya, dan kepercayaannya (berjawah tipe Arab-Eropa, kulit putih, rambut kepirang-pirangan, bermata biru, hidung mancung, tinggi, sangat cantik dan tampan, berbudaya mirip dengan bangsa Turki Utsmany, tidak berbahasa Mandarin, dan beragama mayoritas Islam). Daerah Uyghur merupakan daerah yang sangat kaya akan SDA, hal ini membuat suku bangsa ini berpotensi menjadi sangat kaya jika mampu mendayagunakan potensi tersebut. Daerah Uyghur ini memang sangat dekat secara geografis dengan China, oleh karena itu pada saat pemerintahan Dinasti Qin pada tahun 1750-an, bangsa China ingin mengkooptasi daerah tersebut dan mengintegrasikannya ke dalam wilayah kekuasaan Kekaisaran Dinasti Qin. Akhirnya, China mampu menguasainya dan memberikan nama baru daerah tersebut, yaitu Xinjiang (Provinsi Xinjiang). Dalam bahasa Mandarin berarti "Daerah Kekuasaan Baru." Mulai saat itulah, China ingin mengeksploitasi daerah tersebut karena dinilai sangat kaya SDA. Hanya saja, saat itu masyarakat suku Uyghur tidak mau menjadi taklukan Dinasti Qin, mereka selalu berusaha untuk membebaskan diri dengan melakukan serangkaian aksi separatisme berdarah atas nama perjuangan "Jihad Fii Sabilillah." Suku Uyghur tidak mau tunduk kepada kekuasaan Dinasti Qin yang absolut dan dinilai sangat menindas mereka. Perjuangan membebaskan diri tersebut juga melalui serangkaian aksi negosiasi internasional. Mereka meminta dukungan kepada Turki agar bisa memerdekakan diri, hingga mereka memproklamirkan diri sebagai Negara Turkistan Timur. Pada saat Perang Dunia II berkecamuk, suku Uyghur secara terang-terangan mendukung Rusia karena lebih ingin bergabung dengan Rusia daripada China. Hanya saja, misi ini gagal karena pasukan dari Beijing akhirnya menangkap dan mengembalikan mereka kembali ke China pada tahun 1949 di bawah kekuasaan pemerintahan komunis Mao Zhidong. Mulai saat itulah, semua gerak-gerik suku Uyghur di awasi dan dibatasi oleh pemerintah pusat di Beijing. Pemerintah mulai melakukan serangkaian kebijakan yang sangat diskriminatif dan menyengsarakan, mulai dari pelarangan pembuatan paspor, pelarangan ibadah secara massal, penyanderaan yang berakhir pada penghukuman mati secara besar-besaran, serta pengawasan penuh dengan pengiriman orang-orang suku Han untuk tinggal dan mengatur semua kehidupan di Xinjiang. Pemerintah China tidak mau kehilangan daerah kekuasaannya yang telah dikuasai lebih dari 200 tahun, tapi di sisi lain masyarakatnya ingin memisahkan diri dari China. 
  2. Di sisi lain, sejarah mencatat bahwa, negara-negara besar di dunia selalu mempunyai keinginan untuk memperluas daerah kekuasaannya melalui kolonialisme, penjajahan, kooptasi, hingga akuisisi. Dulu bangsa-bangsa besar di dunia, seperti: Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol, Perancis, hingga Jepang menjajah bangsa-bangsa lain di seluruh dunia untuk misi mendapatkan Gold-Glory-Gospel. Tidak terkecuali Nusantara juga menjadi salah satu sasaran kolonialisme dan penjajahan dari bangsa-bangsa besar lain hingga berratus-ratus tahun lamanya. Sampai hari ini penjajahan dari bangsa besar tersebut masih kita rasakan peninggalannya. Bahkan, untuk sisa penjajahan Inggris, sampai hari ini membentuk kolonialisme modern bertajuk Persemakmuran (commonwealth) bagi bangsa-bangsa yang berhasil dijajah dan diakuisisinya, meski akhirnya Persemakmuran tersebut tetap diizinkan untuk memproklamirkan kemerdekaannya. Di era modern ini, penjajahan terus terjadi, khususnya kepada dunia Islam yang menjadi sasaran. Mulai dari penjajahan, penghancuran, dan genosida terhadap suku Rohingya, bangsa Palestina, suku Uyghur, Afganistan, Yaman, Iraq, Libya, Kashmir, dll. Pelakunya berragam, mulai dari USA, Myanmar, India, China, Israel, dll. Bahkan, sampai hari ini Saudi Arabia juga masih menyerang Yaman, padahal sama-sama Muslim (dilanjutkan diskusi di ruang yang lain). Tidak hanya penjajahan fisik, penjajahan politik dan ekonomi oleh bangsa-bangsa besar di dunia juga masih terus terjadi di dunia ini. Semisal, USA masih menjajah Indonesia dengan menguasai pertambangan (minyak, batu bara, emas, intan, bauksit, nikel, hingga uranium) dan juga perdagangan global. Begitupun China juga berusaha untuk menancapkan kekuasaannya di Indonesia dalam segala aspek kehidupan. Hal ini dilakukan oleh bangsa-bangsa besar penguasa sumber daya dunia untuk memperkuat negaranya masing-masing. Tidak terkecuali yang dilakukan China saat ini dengan mengeksploitasi kekayaan yang ada di Xinjiang dan memberlakukan politik diskriminasi terhadap masyarakatnya. Politik diskriminasi ini juga pernah terjadi di bagian bumi yang lain, yaitu di USA dengan adanya politik apartheid (pembedaan dan diskriminasi berdasarkan warna kulit: hitam/putih). China sebagai salah satu bangsa terkuat di dunia sekarang ini juga sedang melakukan kolonialisme kapitalis modern untuk mengkooptasi negara-negara lain di dunia. Hal ini juga dilakukan oleh Belanda, Portugis, maupun Jepang yang menjajah bangsa Nusantara dengan sangat sadis di masa lalu. Negara-negara Adidaya seperti inilah yang harus diwaspadai oleh bangsa-bangsa berkembang seperti Indonesia agar kedaulatannya tidak terrenggut oleh negara Adidaya baik dari barat atau timur. Kondisi ini juga terjadi di Xinjiang, dimana China sedang menancapkan kekuasaannya dan mencegah terjadinya separatisasi di wilayah kedaulatannya. Hanya saja yang dilakukannya berbeda dengan yang dilakukan Pemerintah Myanmar, Pemerintah China tidak sampai pada taraf genosida (pembantaian massal untuk memusnahkan suatu entitas bangsa). 
  3. Sebenarnya China sendiri memberlakukan kebijakan yang berbeda terhadap suku Hui yang juga Muslim, seperti di tempat saya tinggal. Suku Hui merupakan sukunya Laksamana Cheng Ho yang pernah berkontribusi dalam dakwah Islam di Nusantara. Suku Hui secara genealogis sama dengan suku Han (wajah, warna kulit, warna rambut, bahasa, serta budayanya sangat dekat dengan suku Han). Suku ini sangat aman melakukan kegiatan keislamannya, bahkan diizinkan membangun masjid, melakukan dakwahnya di masjid, hingga melakukan kegiatan ekonomi. Hal ini dijamin oleh Pemerintah China dalam Buku Putih ini «中国保障宗教信仰自由的政策和实践»:白皮书 White Paper: China's Policies and Practices on Protecting Freedom of Religious Belief。http://t.m.china.com.cn/convert/c_oEsyxNII.html
Masyarakat Muslim, maupun agama lain bebas untuk memeluk kepercayaannya masing-masing asal tidak mengganggu orang lain dan tidak melakukan gerakan politik yang membahayakan negara. Bahkan pekan lalu Pemerintah China mengizinkan masyarakat Muslim suku Hui untuk melakukan konferensi di kota Kunming, Provinsi Yunnan tempat saya tinggal sekarang.

Selain itu, Pemerintah China juga tetap dekat dengan dunia Islam di dunia. Sebagai contoh, mereka menjalin kerja sama jangka panjang dengan Pakistan, Turki, Bangladesh, termasuk juga Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia sendiri. Artinya sebenarnya tidak ada masalah yang stategis antara kebebasan beragama (khususnya Islam) maupun hubungan antar negara beragama lain. Sepertihalnya negara-negara sekuler yang lain di dunia, meski tetap saja ada framming negatif yang selalu berusaha dihembuskan negara-negara barat yang mengecap Islam dan dunia Islam sebagai teroris. Tidak terkecuali untuk suku Uyghur yang selalu dicap sebagai teroris dan pendukung ISIS. Hal ini sebenarnya hanya dalih untuk menekan suku Uygur dan menguasai daerahnya secara bertahap. Sebenarnya gampang bagi China untuk melakukan genosida terhadap suku Uyghur seperti yang dilakukan Pemerintah Myanmar terhadap suku Rohingya maupun Pemerintah Nazi Jerman terhadap minoritas Yahudi di masa lalu sebelum adanya gerakan Zionisme yang dicetuskan oleh Theodore Herztl setelah Turki Utsmany diruntuhkan. Hanya saja, Pemerintah China ingin tetap memelihara suku Uyghur dan masih ada harapan agar suku tersebut berdamai dengan Pemerintah China sekarang ini.

Kurang lebih gambarannya seperti itu. Ya, solusi besar yang dapat diambil oleh dunia Islam adalah dengan adanya diplomasi negara Islam yang kuat untuk memediasi konflik vertikal tersebut. Dikarenakan ini menyangkut wilayah teritorial dan geopolitik global, perlu mendesak Dewan Keamanan PBB, UNESCO, dan Organisasi Aktivis Internasional yang membidangi tentang Pengungsi untuk ambil bagian dalam melakukan resolusi.

Sebagai individu, ya kita membantu menyalurkan infaq dan shodaqah semampu kita untuk membantu para pengungsi, menulis di media, maupun hal-hal kecil lain yang bisa memberikan dampak positif.

Penulis:
Adhita Sri Prabakusuma
Mahasiswa S3 di Yunnan Agricultural University, China

TerPopuler