Keberadaan ajaran Islam dan kaum Muslim di China memiliki cara tersendiri dalam menampakkan diri. Tidak sekentara di negara-negara yang memiliki mayoritas pemeluk, seperti Indonesia, Islam di China tampil dalam performa yang lebih minimalis, khas dan unik.
Tulisan ini ingin membahas simbol-simbol yang menjadi penanda bagi keberadaan Islam di Harbin, Heilongjiang, China.
Penanda pertama adalah bangunan masjid atau rumah ibadah bagi kaum muslim. Masjid merupakan simbol paling identik bagi keberadaan Islam, tidak terkecuali di Harbin. Bangunan ini paling mudah dikenali dari segi bentuknya, yang memang khas. Sudah umum di banyak tempat, biasanya masjid memiliki kubah dan menara.
Tapi, jangan terkecoh, karena model arsitektur bangunan di Harbin yang dipengaruhi gaya arsitektur Rusia menjadikan salah satu kota tertua di China ini memiliki banyak gedung mewah yang berkubah. Jadi, bangunan berkubah yang ada di Harbin belum tentu masjid.
Secara geografis Harbin berada di sebelah timur laut China. Wilayah Provinsi Heilongjiang sendiri berbatasan langsung dengan Khabarovsk, kota terbesar kedua di Rusia bagian timur. Kota ini terletak dan berjarak hanya 30 kilometer dari perbatasan China. Di Harbin, bangunan gereja, gedung pemerintahan dan hotel juga ada yang memiliki kubah.
Namun demikian, masjid tetaplah masjid, yang memiliki ciri khusus bila dibandingkan dengan bangunan lain di kanan dan kirinya. Perbedaan itu bisa ditandai, antara lain, dari tulisan nama masjid di pintu masuk utama.
Kita juga bisa memastikan kebenaran satu bangunan apakah masjid atau bukan dengan bantuan peta (map) online, atau menanyakan kepada warga setempat. Orang China menunjuk masjid dalam bahasa mereka dengan sebutan Qingzhensi. Berasal dari kata ‘Qingzhen’ (berarti muslim) dan ‘si’ (berarti kuil).
Melalui artikel ini, saya tertarik untuk menceritakan secara singkat profil Masjid Daowai. Masjid ini menjadi salah satu bangunan kebanggan umat Islam di China, khusunya Harbin. Selain memiliki area bangunan yang cukup luas, masjid ini berusia cukup tua.
Di bagian depan masjid tertulis angka tahun pembuatan, 1935. Melihat angka ini, fikiran saya segera ingat catatan lahirnya negara China modern yang menunjuk pada angka tahun 1949.
Masjid Daowai memiliki ornament kubah berjumlah belasan unit dalam ukuran besar dan sedang, ditambah dengan dua menara yang menjulang tinggi. Kubah-kubah ini semakin menambah kemegahan pemandangan masjid yang berpanorama langit.
Dengan halaman yang cukup luas, di bagian sayap kanan dan kiri masjid terdapat bangunan sarana penunjang, seperti ruang pembelajaran, ruang pertemuan, dan fasilitas ruangan bagi imam dan pengurus masjid.
Saya memastikan, Masjid Daowai ini yang terbesar dan paling tua, tidak hanya di Kota Harbin tetapi juga sewilayah Provinsi Heilongjiang, China. Dua masjid lainnya yang sudah saya kunjungi—Masjid Xiangfang dan Masjid Taipingqiao—tidak memiliki area seluas Masjid Daowai.
Karena itu, masjid yang tidak memiliki cukup space menyiasati penyediaan sarana-prasarana dengan cara meningkat bangunan. Lantai dasar (ground floor) terdiri dari mini-market yang menjual makanan halal dan pakaian muslim, ruang pertemuan, dan fasilitas ruangan bagi imam masjid. Lantai kedua untuk tempat wudhu dan kamar mandi. Lantai ketiga untuk shalat. Bila masih belum mencukupi, dapur dan tempat makan bisa di ruang bawah tanah.
Simbol keislaman kedua adalah keberadaan restoran halal (rumah makan yang menjajakan makanan yang halal). Restoran halal juga menjadi penanda bagi adanya masyarakat yang beragama Islam. Logikanya, tidak mungkin ada pengusaha yang membuka rumah makan dengan produk tertentu, kecuali memang sudah membaca peta calon pembelinya.
Dalam penelusuran saya, di Harbin terdapat restoran halal dalam jumlah yang tidak sedikit. Belum lagi di kampus-kampus ternama, juga selalu memiliki satu atau beberapa restoran halal. Contohnya di kampus Heilongjiang University yang memiliki tiga restoran halal.
Saya menandai, rumah makan yang menjual produk makanan halal memiliki simbol-simbol khusus, yang bisa dengan mudah dikenali oleh calon pembeli. Simbol itu bisa berupa tulisan halal (dengan huruf Arab), atau terdapat kaligrafi Arab (bismillah, kalimah thayyibah dan lainnya).
Penanda keberadaan komunitas Muslim ketiga adalah ‘label hahal’. Seperti di Indonesia, organisasi masyarakat Muslim di China juga memiliki ‘logo halal’ untuk menandai produk makanan kemasan di pasaran yang bisa dikonsumsi umat Islam. ‘Logo halal’ di China berbentuk khas, bertuliskan kata ‘Qinzhen’ (bahasa China, berarti: Muslim). Ada juga yang berupa logo dengan tulisan ‘Halal’ (dalam bahasa Arab), atau ‘China Halal Food’ (dalam bahasa Inggris).
Bila makanan atau minuman yang dijual di pasaran terdapat logo ini, maka itu berarti halal dan baik dikonsumsi oleh umat Islam.
Penanda keislaman berikutnya adalah model pakain yang dikenakan seorang muslim, baik berupa baju gamis, peci maupun jilbab bagi muslimah. Seperti umat Islam yang berada di berbagai tempat, umat Islam di China juga menggunakan pakaian dengan potongan khas. Pakaian dengan paduan unsur budaya Islam dan sentuhan khas China.
Demikianlah, setiap komunitas yang memegangi satu nilai, mereka akan melakukan internalisasi nilai itu kemudian mengekspresikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Selama proses ini berlangsung, kondisi sosio-kultural setempat akan mewarnai. Hasil dari proses ini yang (dalam artikel ini) kemudian disebut simbol.
Kalau kita jeli membaca simbol-simbol yang miliki antar sesama komunitas, maka kita tidak mudah terjebak ke dalam perbedaan identitas. Sebaliknya, kita akan bisa melacak muara dari simbol luar yang ditampilkan.
Cara berfikir yang demikian, baik kita aplikasikan di tengah masyarakat Indonesia yang kaya dengan simbol-perbedaan. Maka, berfokuslah kepada keagungan nilai yang ada di balik perbedaan-simbol.
Ditulis oleh Ali Romdhoni diambil dari https://www.itsme.id/islam-di-china-dari-masjid-restoran-hingga-label-halal