Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar sebutan “akhi”
atau “ikhwan”?
Karakteristik yang tersemat biasanya saleh, taat beribadah, menjaga pandangan,
menolak berjabat tangan dengan lawan jenis, penghafal Al-Quran dan hadis, serta
pegiat dakwah, sampai karakteristik fisik seputar jenggot panjang, celana
cingkrang, dan sandal gunung. Cap itu tidak sepenuhnya salah, karena stereotip
ini identik dengan para pria Islami atau pegiat lembaga dakwah di kampus.
Beberapa
tahun lalu ketika masih menjadi mahasiswa baru, saya pernah terlibat di lembaga
dakwah kampus tingkat fakultas. Tetapi, saya tidak cukup untuk bisa disebut
sebagai “akhi-akhi”.
Karena saya bergaul dengan ahli hisap (mahasiswa yang suka merokok), berambut
gondrong, bercelana jeans, pakai kaos, jarang memakai jaket lembaga
dakwah kampus, dan sudah terbata-bata ketika membaca huruf Arab
Pegon (abjad Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa,
Madura, dan Sunda).
Meski
demikian, saya berterima kasih kepada lembaga dakwah yang saya ikuti. Karena
lembaga ini, saya jadi tahu kelakuan tidak terpuji para akhi. Pertama, bagaimana
sebagian dari mereka ini terlihat sangat kebelet menikah muda, yang menurut
saya tanpa ilmu yang mumpuni. Semua masalah dianggap akan tuntas jika kita
menikah muda. Skripsi akan cepat selesai, karena ada penyemangat. Kemiskinan
dapat dientaskan karena menikah akan menyempurnakan separuh agamamu,
menjadikanmu muslim yang kaffah (paripurna) dan anak
adalah pembuka pintu rezeki.
Mulai
dari seminar, kajian, atau poster dakwah, isinya tentang nikah muda. Kita bisa
mengeja berbagai judul seminar nikah muda, mulai dari “Menjemput Jodoh Impian”
sampai “Membina Keluarga Islami di era industri 4.0”. Tanpa pemahaman atas
Kitab Qurrotul
‘uyun atau Fikih Perempuan yang ditafsirkan oleh berbagai ulama,
tren nikah muda menjadi toxic bagi akhi-akhi
maupun ukhti-ukhti.
MasyaAllah,
saya kemudian membayangkan anak-anak dari keluarga itu dididik oleh Kecerdasan
Buatan (AI) dan dilatih analisis Big Data.
Cerita
lain soal para akhi saya dapat dari seorang akhi-akhi
juga, yang telah memendam kisah ini sekian lama karena tidak mau mengumbar aib
saudara sendiri. Perumpamaannya adalah memakan bangkai saudara sendiri.
Teman
saya itu mengatakan ada virus-virus yang telah menjangkiti para akhi, mulai
dari akhi-akhi
wibu
(pencinta budaya Jepang), akhi-akhi yang membayar handshake
dengan salah satu personil JKT 48 tetapi tidak bersentuhan tangan,
sampai akhi-akhi
cabul.
Saya
tidak tersentak ketika ia mengatakan akhi-akhi wibu,
karena saya cukup familier dengan mereka. Perawakan dicitrakan Arabis dan
Islami, tetapi isi laptop penuh dengan kumpulan anime yang diunduh dari
berbagai situs. Bahkan beberapa kali saya mendapati ada yang menonton anime
di masjid. Namun, yang mengejutkan saya adalah akhi-akhi cabul.
Teman
saya memergoki mereka ada dalam sebuah forum di kampus. Seorang akhi
di sebelahnya kedapatan sedang memotret secara sembunyi-sembunyi ukhti-ukhti
yang ada di forum itu. Ia tidak mau berjabat tangan dengan lawan jenis tapi
ternyata gemar mengambil foto perempuan diam-diam. Pada saat itu, teman saya
menegur sarkastis, “Kalau kamu suka, nikahin aja. Enggak usah
memotret secara sembunyi-sembunyi.”
Ternyata,
si akhi
sudah biasa mengambil foto “candid” para ukhti, dan
beberapa saya kenal baik. Mereka sungguh tidak layak dijadikan objek foto
secara sembunyi-sembunyi. Tidak hanya para ukhti, semua perempuan di
bumi Allah ini tidak pantas dijadikan objek foto tanpa adanya konsensus.
Pada
saat itu, kemarahan saya menggelegak. Si oknum akhi itu sering saya dapati
tengah berbicara mengenai Islam yang memuliakan perempuan. Saya otomatis ragu,
apakah ia benar-benar menerapkan nilai-nilai tersebut.
Cerita
lain datang dari kawan perempuan saya, seorang ukhti berjilbab. Ia suka
menerima pesan pribadi di Instagram dengan kata-kata menjijikkan, seperti
“Bibirmu indah.....(sensor)”. Padahal profil laki-laki itu sering berdakwah di
media sosial, misalnya soal keutamaan Tauhid, keutamaan memuliakan perempuan,
dan lainnya. Ia langsung memblokir akun itu.
Untuk
apa akhi-akhi
itu berbicara soal “Islam memuliakan perempuan” jika ia saja tidak bisa
memuliakan perempuan? Menjadikan ukhti-ukhti sebagai objek
foto secara sembunyi-sembunyi jelas perbuatan yang tidak Islami sama sekali.
Islam mengajarkan untuk menundukkan pandangan. Tetapi, bukan berarti
menundukkan pandangan ke ponsel yang isinya foto perempuan. Perintah
menundukkan pandangan itu ada untuk mengelola hawa nafsu manusia. Sebegitu
susahnya menahan hasrat seksual, akhi?
Tentu,
tidak semua akhi-akhi
demikian. Beberapa yang saya kenal selalu menjaga pandangannya. Ada yang bahkan
turut memperjuangkan agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
(RUU-PKS) disahkan.
Sumber: https://magdalene.co/story/hati-hati-ukhti-akhi-akhi-cabul-itu-ada