Ahad (24/4/2022) lalu, Majelis Pembina Nasional (Mabinas) Pengurus Besar Pergerakan Islam Indonesia (PB-PMII) dan Pengurus Besar Ikatan Alumni PMII (PB-IKA PMII) menyelenggarakan silaturrahim dalam rangka merespons situasi negara dewasa ini sekaligus muhasabah mengambil berkah Lailatul Qadar, kebetulan bertepatan dengan sepertiga akhir bulan Ramadlan 1443 H. Acara ini dihadiri oleh Dr. Wahiduddin Adam, Hakim Agung di Mahkamah Konstitusi, beberapa Pengurus PBNU, Menaker, Ida Fuziyah, Wakil Ketua MPR, Jazilul Fawaid, Ketua Umum PB-PMII dan PB-KOPRI, serta elemen lainnya.
Ketua
Umum PB-IKA PMII Dr. Ahmad Muqowam dalam sambutannya mengatakan bahwa selama
ini NU sudah cukup terkonsolidasi, tetapi pasca Muktamar Lampung ini konsolidasi
memudar lagi, akibat masuknya berbagai ideologi ke dalam tubuh NU. Ini akan
menghambat proses konsolidasi NU, padahal konsolidasi NU ini merupakan kunci
dari konsolidasi Nasional. Ini perlu segera dicari solusinya, karena keamanan
nasional itu nomor satu.
Sementara
itu, Ketua Mabinas PB-PMII H. Muhaimin Iskandar, mensinyalir bahwa sekarang ini
negara kita walaupun kelihatannya tenang, sebenarnya dalam keadaan gawat kalau
tidak segera diatasi. Misalnya, terjadi kesenjangan ekonomi yang ekstrem, kesenjangan
ideologi, ditambah dengan ketegangan antar agama yang mulai dimainkan
belakangan ini, maka NU dalam hal ini PMII beserta alumninya perlu segera
mengantisipasi, agar ketegangan ini tidak berujung pada konflik terbuka yang
bisa mengancam keutuhan NKRI.
Acara
silaturahim ini juga mengundang KH. Abdul Munim DZ, salah satu pengurus PB-IKA
PMII, dalam tausyiahnya mengatakan bahwa saat menjelang maghrib dan menjelang
lebaran seperti ini yang tepat bukan tausyiah, tapi menunggu berbuka dan
menunggu THR. “Saat ini kita semua dengan susah payah rela mengantri sejak sore
sampai tengah malam bahkan hingga dini hari, karena berharap mendapatkan THR
agung dari Allah SWT yaitu Lailatul
Qadar yang keutamaannya digambarkan sebagai lebih baik dari seribu Bulan,
yang berarti penuh barokah. Sementara barokah diartikan sebagai ziyadatul
khoir adl’afan mudlo’afah (bertambahnya kebaikan yang berlipat ganda), karena
itu semua Muslim berharap mendapatkan Lailatul
Qadar ini.”
Hal
yang menarik dari tausyiah Koordinator Nasional PKPNU ini, tidak membicarakan Lailatul
Qadar yang akan turun dari Sidratul Muntaha, tetapi menjelaskan berkah dari
Lailatul Qodar yang telah turun di bumi. Misalnya di Nusantara disebutnya
ada tempat yang dulu digunakan oleh para wali bermujahadah dan dipercayai
pernah turun Lailatul Qadar, daerah itu dinamai Seribu Bulan,
seribu bulan itu dalam bahasa Jawa Sewu Wulan lalu orang menyebutnya Sewulan,
yaitu sebuah desa perdikan di Madiun. Daerah ini dianggap memencarkan barokah,
karena itu digunakan sebagai miqat (titik tolak) perjuangan.
Tercatat,
Raja Amangkurat IV, sekitar tahun 1723 saat ingin mengatasi disintegrasi
Mataram Pasca Sultan Agung, yang dicengkeram Belanda dan pemberontak,
mengambil miqot perjuangannya
dari Sewulan. Dengan miqat yang tepat itu dia berhasil mengintegrasikan
kembali Mataram. Dan diberi keberkahan keturunan Raja besar baik di Solo maupun
Yogyakarta. Dari Amanagkurat IV ini juga lahir dua pahlawan besar yaiatu Pangeran
Sambernyowo dan Pangeran Diponegoro.
Lebih
lanjut Kiai Mun’im DZ menjelaskan tokoh lain yang tahu rahasia Sewulan ini
adalah Pangeran Diponegoro, dari kawasan Desa Perdikan itulah sekitar tahun
1824 dia mengambil miqot perjuangannya. Rupanya keberhasilan perjuangan
Diponegoro mengobrak-abrik pasukan Sekutu Penjajah itu karena memilih miqot
yang tepat, sehingga menjadi tonggak perjuangan Nasional. Dari pasukan
Diponegoro itulah kemudian menurunkan pejuang Nasional yang kelak menjadi tokoh
dalam kemerdekaan Indonesia tahun 1945, baik kalangan priyayi seperti Soekarno,
Rajiman, Ki Hajar Dewantara, dan sebagainya maupun santri, seperti KH. Hasyim
Asy’ari, Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahab Chasbullah, dan sebagainya yang memiliki sanad perjuangan dengan Pangeran
Diponegoro.
Tak
sampai di situ, miqat perjuangan Sewulan juga dilakukan oleh KH. Hasyim
Asy’ari sekitara tahun 1920an, yaitu saat hendak mendirikan NU dan NKRI,
kebetulan beliau menikah dengan keturunan Sewulan Raden Ayu Nafiqoh putri dari
KH. Ilyas, cicit Ki Bagus Harun leluhur
Sewulan.
KH.
Wahid Hasyim saat mendapat tugas besar merumuskan Konstutusi RI yaitu UUD 1945
bersama KH. Imam Mursyid Takeran, KH. Asyik Syukri Bawean, dan kiai yang lain,
sering bertawasul ke Sewulan dan mendiskusikan Muqodimah UUD 1945 termasuk
Pancasila di tempat ini dan juga di Takeran. Dengan keberkahan seribu bulan itu
maka melahirkan Muqodimah UUD 1945 yang bersejarah yang diakui kedalaman
filosofinya, religius, revolusioner, dan indah susunan katanya.
Dalam
mengakhiri tausyiahnya Kiai Mun’im DZ menyarankan, untuk mengatasi persoalan
yang dihadapi NU dan bangsa ini sebagaimana digambarkan H. Ahmad Muqowan dan
H.Muhaimin Iskandar tadi, sudah
selayaknya generasi saat ini mengikuti jejak perjuangan para leluhurnya
terdahulu, yaitu selain memperkuat niat, memilih miqat yang tepat,
sehingga misi yang diperjuangkan mendapatkan energi baru dan mendapat
keberkahan dari Liltuul Qadr seribu Bulan. Seperti yang berhasil
dilakukan para Ulama dan Sutan terdahulu (Waki Ats Tsaqofi).
***