Al-Qadr sebagai Miqat Perjuangan

Al-Qadr sebagai Miqat Perjuangan

Rabu, 27 April 2022, April 27, 2022



Ahad (24/4/2022) lalu, Majelis Pembina Nasional (Mabinas) Pengurus Besar Pergerakan Islam Indonesia (PB-PMII) dan Pengurus Besar Ikatan Alumni PMII (PB-IKA PMII) menyelenggarakan silaturrahim dalam rangka merespons situasi negara dewasa ini sekaligus muhasabah mengambil berkah Lailatul Qadar, kebetulan bertepatan dengan sepertiga akhir bulan Ramadlan 1443 H. Acara ini dihadiri  oleh Dr. Wahiduddin Adam, Hakim Agung di Mahkamah Konstitusi, beberapa Pengurus PBNU, Menaker, Ida Fuziyah, Wakil Ketua MPR, Jazilul Fawaid,  Ketua Umum PB-PMII dan PB-KOPRI, serta elemen lainnya.

 

Ketua Umum PB-IKA PMII Dr. Ahmad Muqowam dalam sambutannya mengatakan bahwa selama ini NU sudah cukup terkonsolidasi, tetapi pasca Muktamar Lampung ini konsolidasi memudar lagi, akibat masuknya berbagai ideologi ke dalam tubuh NU. Ini akan menghambat proses konsolidasi NU, padahal konsolidasi NU ini merupakan kunci dari konsolidasi Nasional. Ini perlu segera dicari solusinya, karena keamanan nasional itu nomor satu.

 

Sementara itu, Ketua Mabinas PB-PMII H. Muhaimin Iskandar, mensinyalir bahwa sekarang ini negara kita walaupun kelihatannya tenang, sebenarnya dalam keadaan gawat kalau tidak segera diatasi. Misalnya, terjadi kesenjangan ekonomi yang ekstrem, kesenjangan ideologi, ditambah dengan ketegangan antar agama yang mulai dimainkan belakangan ini, maka NU dalam hal ini PMII beserta alumninya perlu segera mengantisipasi, agar ketegangan ini tidak berujung pada konflik terbuka yang bisa mengancam keutuhan NKRI.

 

Acara silaturahim ini juga mengundang KH. Abdul Munim DZ, salah satu pengurus PB-IKA PMII, dalam tausyiahnya mengatakan bahwa saat menjelang maghrib dan menjelang lebaran seperti ini yang tepat bukan tausyiah, tapi menunggu berbuka dan menunggu THR. “Saat ini kita semua dengan susah payah rela mengantri sejak sore sampai tengah malam bahkan hingga dini hari, karena berharap mendapatkan THR agung  dari Allah SWT yaitu Lailatul Qadar yang keutamaannya digambarkan sebagai lebih baik dari seribu Bulan, yang berarti penuh barokah. Sementara barokah diartikan sebagai ziyadatul khoir adl’afan mudlo’afah (bertambahnya kebaikan yang berlipat ganda), karena itu semua Muslim  berharap mendapatkan Lailatul Qadar ini.”

 

Hal yang menarik dari tausyiah Koordinator Nasional PKPNU ini, tidak membicarakan Lailatul Qadar yang akan turun dari Sidratul Muntaha, tetapi menjelaskan berkah dari Lailatul Qodar yang telah turun di bumi. Misalnya di Nusantara disebutnya ada tempat yang dulu digunakan oleh para wali bermujahadah dan dipercayai pernah turun Lailatul Qadar, daerah itu dinamai Seribu Bulan, seribu bulan itu dalam bahasa Jawa Sewu Wulan lalu orang menyebutnya Sewulan, yaitu sebuah desa perdikan di Madiun. Daerah ini dianggap memencarkan barokah, karena itu digunakan sebagai miqat (titik tolak) perjuangan.

 

Tercatat, Raja Amangkurat IV, sekitar tahun 1723 saat ingin mengatasi disintegrasi Mataram Pasca Sultan Agung, yang dicengkeram Belanda dan pemberontak, mengambil  miqot perjuangannya dari Sewulan. Dengan miqat yang tepat itu dia berhasil mengintegrasikan kembali Mataram. Dan diberi keberkahan keturunan Raja besar baik di Solo maupun Yogyakarta. Dari Amanagkurat IV ini juga lahir dua pahlawan besar yaiatu Pangeran Sambernyowo dan Pangeran  Diponegoro.

 

Lebih lanjut Kiai Mun’im DZ menjelaskan tokoh lain yang tahu rahasia Sewulan ini adalah Pangeran Diponegoro, dari kawasan Desa Perdikan itulah sekitar tahun 1824 dia mengambil miqot perjuangannya. Rupanya keberhasilan perjuangan Diponegoro mengobrak-abrik pasukan Sekutu Penjajah itu karena memilih miqot yang tepat, sehingga menjadi tonggak perjuangan Nasional. Dari pasukan Diponegoro itulah kemudian menurunkan pejuang Nasional yang kelak menjadi tokoh dalam kemerdekaan Indonesia tahun 1945, baik kalangan priyayi seperti Soekarno, Rajiman, Ki Hajar Dewantara, dan sebagainya maupun santri, seperti KH. Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahab Chasbullah, dan sebagainya yang  memiliki sanad perjuangan dengan Pangeran Diponegoro.

 

Tak sampai di situ, miqat perjuangan Sewulan juga dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari sekitara tahun 1920an, yaitu saat hendak mendirikan NU dan NKRI, kebetulan beliau menikah dengan keturunan Sewulan Raden Ayu Nafiqoh putri dari KH. Ilyas, cicit  Ki Bagus Harun leluhur Sewulan.

 

KH. Wahid Hasyim saat mendapat tugas besar merumuskan Konstutusi RI yaitu UUD 1945 bersama KH. Imam Mursyid Takeran, KH. Asyik Syukri Bawean, dan kiai yang lain, sering bertawasul ke Sewulan dan mendiskusikan Muqodimah UUD 1945 termasuk Pancasila di tempat ini dan juga di Takeran. Dengan keberkahan seribu bulan itu maka melahirkan Muqodimah UUD 1945 yang bersejarah yang diakui kedalaman filosofinya, religius, revolusioner, dan indah susunan katanya. 

 

Dalam mengakhiri tausyiahnya Kiai Mun’im DZ menyarankan, untuk mengatasi persoalan yang dihadapi NU dan bangsa ini sebagaimana digambarkan H. Ahmad Muqowan dan H.Muhaimin Iskandar tadi,  sudah selayaknya generasi saat ini mengikuti jejak perjuangan para leluhurnya terdahulu, yaitu selain memperkuat niat, memilih miqat yang tepat, sehingga misi yang diperjuangkan mendapatkan energi baru dan mendapat keberkahan dari Liltuul Qadr seribu Bulan. Seperti yang berhasil dilakukan para Ulama dan Sutan terdahulu (Waki Ats Tsaqofi).

 

***

 

TerPopuler